<<< Lembaga Kajian Ilmiah Mahasiswa >>>

::Wilujeung Sumping di Weblog LKIM UNAND Padang::. Semoga site gratisan ini bukan hanya menambah literatur-literatur dalam dunia kepenulisan, tetapi juga lebih khusus untuk menambah khazanah keilmuan science dan keislaman, karena di masa kebangkitan seperti sekarang ini (menurut sejarah islam) yang sebelumnya Islam di Andalusia (Spanyol) begitu kuat dan hebatnya, harus tunduk dan hancur oleh kaum Hulagu dari bangsa Bar-Bar, oleh karena itu kita pun di harapkan untuk selalu berkarya, baik melalui dunia kepenulisan, dunia jurnalistik maupun yang lainnya, karena memang tidak bisa kita pungkiri bahwa Islam khususnya yang ada di Indonesia ini sangat butuh dengan orang-orang yang profisional dalam bidangnya masing-masing. Nah...site ini pun tampil untuk menunjukkan bahwa kami ingin menambah khazanah keislaman dalam berkarya, walaupun hanya sebutir debu di padang pasir, tetapi akan sangat bermakna jika kita mendalaminya, Amin

Jumat, 18 Juni 2010

Tanaman Transgenik di Persimpangan Jalan

PERDEBATAN tentang pemanfaatan tanaman hasil rekayasa genetik ( = tanaman transgenik) masih terus berlangsung baik di Indonesia maupun di berbagai negara lain. Media komunikasi juga terus melansir berbagai pendapat masyarakat seputar keamanan lingkungan dan pangan dari penanaman maupun pemanfaatan produk tanaman transgenik. Kepedulian masyarakat terhadap teknologi ini sangat besar karena adanya risiko yang mungkin muncul sebagai akibat penanaman tanaman transgenik. Di sisi lain, sebagian masyarakat juga melihat manfaat aplikasi bioteknologi modern untuk pemenuhan kebutuhan pangan.

Jumlah tanaman transgenik di seluruh dunia pada tahun 2005 seluas 90 juta hektar dan 38% di antaranya ditanam di negara berkembang sedangkan sisanya di negara industri (James, 2005). Kedelai yang toleran terhadap herbisida mendominasi luasan tanaman transgenik yaitu 60%, sedangkan jagung maupun kapas yang telah disisipi gen dari Bacillus thuringiensis supaya tahan terhadap hama tertentu hanya mencakup masing-masing 13 dan 7%. Proporsi areal tanaman transgenik sejak pertama kali ditanam (1996) terus mengalami peningkatan sampai dengan tahun 2005. Cina, India, dan beberapa negara di Amerika Latin adalah beberapa contoh negara yang areal tanaman transgeniknya terus meningkat. Di Indonesia sendiri, kapas transgenik pernah ditanam ditujuh Kabupaten di Sulawesi Selatan pada tahun 2001-2002, dan sekarang tidak ada lagi tanaman transgenik yang ditanam untuk tujuan komersial di negara kita. Dengan begitu apakah negara kita bebas dari produk tanaman transgenik?

Kedelai merupakan salah satu komoditas pertanian yang negara kita masih impor dalam jumlah besar dari negara penghasil kedelai, misalnya Amerika Serikat yang merupakan negara penanam terluas kedelai transgenik. Oleh karena itu, Pemerintah melalui Menteri Pertanian dalam Seminar Lustrum XII Fakultas Pertanian UGM menyampaikan bahwa penurunan secara cepat volume impor menjadi salah satu program pertanian saat ini. Pada tahun 2010 diharapkan 65% kebutuhan kedelai dapat dipenuhi dari produksi domestik dan swasembada dicapai pada tahun 2015. Jagung dan gula dicanangkan dapat mencapai swasembada pada tahun 2007 dan 2009. Apakah bioteknologi modern bisa ikut berkontribusi untuk mencapai tujuan tersebut? Atau karena masalah pro-kontra tentang tanaman transgenik dan lebih lagi karena tersedianya teknologi lain untuk mencapai swasembada sehingga aplikasi bioteknologi modern tidak diperlukan?

Perkembangan bioteknologi nampaknya lebih cepat dibandingkan dengan apa yang bisa dipahami oleh publik. Perbedaan ini menimbulkan rasa kekhawatiran yang terkait dengan ketidakpastian besar kecilnya risiko dan toleransi publik terhadap risiko tersebut. Di samping itu, hak publik untuk mengetahui dan mengambil keputusan 'mengonsumsi atau tidak' produk tanaman transgenik juga menjadi isu lain yang terus diperbincangkan dan sampai saat ini belum ada tindak lanjutnya. Dari dua hal tersebut saja sudah menjadi sulit untuk dicarikan common ground nya apabila komunikasi juga tidak berjalan dengan baik.

Pengertian tentang risiko tanaman dan atau produk transgenik sangat bervariasi tetapi dalam banyak hal dipahami bahwa analisis risiko mencakup risiko terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Pembagian ke dalam dua kategori tersebut masih menyisakan lahan yang sangat luas sehingga aspek dan komponen yang harus diteliti dan diestimasi besaran risikonya masih menjadi subjek perbedaan pendapat. Analisis risiko lingkungan tanaman transgenik merupakan aktivitas yang rumit, kompleks, dan saling terkait karena sifat dari masing-masing komponen dalam lingkungan yang saling bergantung ataupun berinteraksi satu sama lain.

Sekilas nampak bahwa analisis tersebut merupakan aktivitas no end yang tentunya kesimpulan juga sulit bahkan tidak akan pernah dihasilkan. Pendekatan lain adalah tetap mendasarkan pada diversitas lingkungan dengan menggunakan indikator organisme yang ada dalam rantai dan jaring-jaring makanan serta organisme yang paling peka di lingkungan. Pertanyaan yang muncul dengan pendekatan kedua adalah apakah hal ini representatif? Dan berapa lama studi harus dilakukan agar publik dapat merasa "yakin dan nyaman" terhadap apapun kesimpulan yang diperoleh dari studi tersebut?

Konsumen merupakan salah satu komponen publik yang menentukan diterima tidaknya tanaman ataupun produk tanaman transgenik. Konsumen langsung akan bersinggungan dengan risiko, tetapi apakah konsumen juga menerima insentif ataupun keuntungan dari tanaman transgenik? Oleh karena itu tidak sulit dipahami kalau konsumen menuntut adanya jaminan keamanan pangan produk tanaman transgenik dan juga hak untuk mengetahui sehingga bisa mengambil keputusan bagi dirinya. Secara riil isu tersebut kemudian menjadi isu pelabelan.

Tata perdagangan produk pertanian kompleks dan variatif sehingga masalah pelabelan produk tanaman transgenik (baik segar maupun yang telah diproses) juga tidak sederhana dalam implementasinya.

Dua aspek tersebut di atas sudah dapat menggambarkan bahwa tanaman transgenik saat ini masih ada di persimpangan manfaat dan risiko, indikator yang digunakan dalam analisis risiko bagi kesehatan maupun lingkungan, dan besar kecilnya risiko yang bisa diterima oleh publik. Masa depan teknologi ini masih menjadi pertanyaan besar di antara kita dan tentunya 'nasib' teknologi ini akan bergantung pada ilmu itu sendiri, pemerintah, produsen, dan juga publik. Keputusan sangat diperlukan agar kita segera dapat menentukan arah.

Untuk mencapai hal tersebut, satu hal yang pasti dibutuhkan saat ini adalah komunikasi dan diskusi yang lebih baik untuk mencari titik temu tentang semua proses dan mekanisme justifikasi penerimaan ataupun penolakan tanaman transgenik dan produknya. Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian, dan komponen masyarakat lainnya punya peranan yang sangat penting dalam mencari solusi sehingga kita segera ke luar dari suasana yang dilematis saat ini. q – c

*) Y Andi Trisyono, Staf Pengajar Jurusan Tanaman (Hama dan Penyakit Tumbuhan) Fakultas Pertanian UGM.

Sumber: http://222.124.164.132/article.php?sid=98082

Tidak ada komentar:

Posting Komentar