<<< Lembaga Kajian Ilmiah Mahasiswa >>>

::Wilujeung Sumping di Weblog LKIM UNAND Padang::. Semoga site gratisan ini bukan hanya menambah literatur-literatur dalam dunia kepenulisan, tetapi juga lebih khusus untuk menambah khazanah keilmuan science dan keislaman, karena di masa kebangkitan seperti sekarang ini (menurut sejarah islam) yang sebelumnya Islam di Andalusia (Spanyol) begitu kuat dan hebatnya, harus tunduk dan hancur oleh kaum Hulagu dari bangsa Bar-Bar, oleh karena itu kita pun di harapkan untuk selalu berkarya, baik melalui dunia kepenulisan, dunia jurnalistik maupun yang lainnya, karena memang tidak bisa kita pungkiri bahwa Islam khususnya yang ada di Indonesia ini sangat butuh dengan orang-orang yang profisional dalam bidangnya masing-masing. Nah...site ini pun tampil untuk menunjukkan bahwa kami ingin menambah khazanah keislaman dalam berkarya, walaupun hanya sebutir debu di padang pasir, tetapi akan sangat bermakna jika kita mendalaminya, Amin

Minggu, 24 Oktober 2010

OPTIMALISASI PERAN AYAM KAMPUNG SEBAGAI “PABRIK” PROTEIN HEWANI UNTUK KETAHANAN PANGAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN DI PEDESAAN 1)

Dr. Rusfidra, S.Pt 2)
Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang
Kampus UNAND Limau Manis, Padang, 25163
Blog: http://rusfidra.multiply.com
e-mail: rusfidra_unand@yahoo.co.id


ABSTRACT

In Indonesia, indigenous poultry have been raised by rural communities for many generations. This custom is likely to continue and remain popular in rural areas. The rural poultry sistem relies on minimal input of resources. Although secondary to other agricultural activities, rural poultry rearing plays an important role in providing the population with substantial income and high quality protein. Village chickens in particular fulfill a wide range functions, -e.g. the provision of meat and eggs, food for special festivals, chickens for traditional ceremonies, pest control and petty cash. Eggs and meat are a source of high quality protein for sick and malnourished children under the age of live. Almost every rural family keep small flock of indigenous domestic fowl under backyard farming system. Although indigenous poultry are poor producers of eggs and meat, they are hard and thrive well in the harsh rural environment and some varieties have a superior genetic constitution which has not been fully explored. There is no systematic breeding programme and closed breeding occurs among indigenous stock. Chicken are probable the most universal and important of all domesticated animal species as producers of food human consumption. Village chickens play a significant role in household food security and poverty reduction in Indonesia villages.

Key word: rural poultry, food security, poverty reduction.

1). Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Ketahanan Pangan di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi tanggal 15 Desember 2007.
2). Staf Pengajar Fakultas Peternakan UNAND, Kampus Limau Manis, Padang, 25163.


I. PENDAHULUAN
“Negeri yang kaya ternak, tidak pernah miskin.
Negeri yang miskin ternak, tidak pernah kaya”.
(-- Pepatah Arab--- dalam Campbell dan Lasley, 1985)
1.1. Latar Belakang
Secara umum, persoalan kemiskinan, kelaparan dan malnutrisi merupakan persoalan global di negara-negara sedang berkembang. Kemiskinan dan malnutrisi merupakan masalah besar bangsa yang saling kait mengait. Belitan kemiskinan dan tingkat keterampilan yang rendah berdampak pada terbatasnya akses terhadap sumber pekerjaan yang berpenghasilan layak. Untuk kasus Indonesia, kemiskinan merupakan masalah pelik yang menjadi perhatian rezim penguasa. Namun, sayangnya program pengentasan kemiskinan yang ditawarkan pemerintah masih bersifat superfisial, instan dan belum menyentuh akar masalah penyebab kemiskinan. Belum lama pemerintah meluncurkan program bantuan langsung tunai (BLT), yakni dengan memberikan uang tunai sebanyak Rp. 300 ribu/3 bulan kepada 15,5 juta rumahtangga miskin. Fakta membuktikan, program BLT terbukti tidak berhasil menekan jumlah penduduk miskin, --malah jumlahnya makin bertambah--, namun ia “berhasil” membuat perilaku masyarakat miskin menjadi konsumtif.
Bahan pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi untuk hidup sehat, produktif, kreatif dan cerdas. Selain pangan nabati, manusia juga memerlukan bahan pangan hewani (daging, susu, telur dan madu) untuk kecerdasan, memelihara stamina tubuh, mempercepat regenerasi sel dan menjaga sel darah merah (eritrosit) agar tidak mudah pecah. Meskipun masyarakat menyadari pangan hewani sebagai kebutuhan primer, namun hingga kini konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia masih sangat rendah bila dibandingkan dengan sesama negara ASEAN, apalagi bila dibandingkan dengan negara-negara maju. Asupan protein hewani yang rendah berisiko terhadap munculnya kasus malnutrisi, gangguan pertumbuhan otak anak balita, meningkatnya risiko sakit, terganggunya perkembangan mental, menurunkan performa anak sekolah dan produktivitas tenaga kerja.
Dalam konteks ini, agaknya, ayam kampung dapat dikembangkan sebagai salah satu bentuk usaha keluarga yang bermanfaat. Ayam kampung dapat diusahakan untuk mengentaskan kemiskinan dan ketahanan pangan hewani keluarga. Selain menghasilkan pangan hewani (daging dan telur), ayam kampung merupakan aset biologis, sumber uang tunai, tabungan hidup dan pupuk organik. Ayam kampung merupakan “pabrik” protein hewani yang dapat dikembangkan di seluruh negeri.
1.2. Urgensi Masalah
Merebaknya kasus gizi buruk dan busung lapar pada anak-anak usia balita beberapa waktu lalu disebabkan oleh kurangnya asupan kalori-protein. Masa balita merupakan “periode emas” pertumbuhan anak manusia dimana sel-sel otak sedang berkembang dengan pesat. Dalam periode ini protein hewani sangat dibutuhkan agar otak berkembang optimal. Oleh sebab itu, agaknya, diperlukan program penyediaan sumber protein hewani yang murah, mudah tersedia, terjangkau dan bergizi tinggi pada tingkat rumahtangga. Dalam konteks ini, hemat penulis, program “Family Poultry” (FP) berbasis ayam kampung layak dipertimbangkan sebagai sebuah solusi mengatasi malnutrisi, efektif dalam pengentasan kemiskinan, menjaga ketahanan pangan pada tingkat rumahtangga dan sebagai sumber pendapatan keluarga miskin. Tujuan FP adalah mewujudkan ketahanan pangan pada tingkat rumahtangga dan sebagai sumber uang tunai bagi keluarga miskin dan sangat miskin (Rusfidra, 2007a,d, 2006a).

II. METODA
Makalah ini dimaksudkan sebagai “road map” bagi pengambil kebijakan dalam upaya mengatasi masalah malnutrisi dan pengentasan kemiskinan secara sistematis dan berkelanjutan pada tingkat rumahtangga. Penulis mengusulkan program “Family Poultry” sebagai sumber protein hewani, sumber pendapatan dan pengentasan kemiskinan di perdesaan. Pada bagian akhir diusulkan model program FP berbasis pada ayam kampung yang dapat dikembangkan di Indonesia.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Revolusi Peternakan
Istilah Revolusi Peternakan pertama kali diperkenalkan oleh Delgado et. al. 1999. Di dalam artikel “Peternakan 2020: Revolusi Pangan Masa Depan” mereka memprediksikan akan terjadi peningkatan produksi dan konsumsi bahan pangan hewani di masa depan. Konsumsi daging penduduk dunia akan meningkat dari 233 juta ton (pada tahun 2000) menjadi 300 juta ton (pada tahun 2020). Konsumsi susu meningkat dari 568 juta ton (pada tahun 2000) menjadi 700 juta ton (pada tahun 2020), sedangkan konsumsi telur pada tahun 2020 akan mencapai 55 juta ton (www.ifpri.org). Peningkatan konsumsi bahan pangan hewani tersebut disebabkan oleh karena bertambahnya jumlah penduduk dunia, meningkatnya kesejahteranaan penduduk dunia dan meningkatnya kesadaran gizi masyarakat. Jumlah penduduk dunia yang pada tahun 2000 baru berjumlah 6 milyar orang akan melonjak menjadi 7,5 milyar orang pada tahun 2025.
Begitupun di Indonesia, untuk mengantisipasi kondisi tersebut, pemerintah Indonesia meresponnya dengan meluncurkan Program Revitalisasi Pertanian, ---termasuk revitalisasi peternakan---. Ketika mencanangkan Program Revitalisasi Pertanian pada tanggal 11 Juni 2005, Presiden SBY menyebutkan empat kebijakan yang penting dilakukan, yaitu kebijakan umum pertanahan dan tata ruang, pembangunan infrastruktur pedesaan, ketahanan pangan dan perdagangan produk pertanian. Tujuan revitalisasi pertanian adalah mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran serta meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi nasional (Kompas, 8/6/2005).
Secara definisi, revitalisasi pertanian adalah penguatan kembali sektor pertanian dan membangun komitmen untuk menjadikan sektor pertanian sebagai sektor penting bagi tulang punggung perekonomian nasional. Hal ini karena sektor pertanian mampu menyediakan bahan pangan, dan juga telah terbukti bahwa sektor pertanian merupakan penyerap tenaga kerja terbesar di negeri ini, dimana hampir 50% tenaga kerja pada usia produktif bekerja di sektor pertanian. Karena itu, revitalisasi pertanian yang akan dilakukan tentu harus menyentuh bidang peternakan, perkebunan dan hortikultura, selain bidang tanaman pangan. Sebagai contoh, produk perkebunan Indonesia seperti karet, kakao dan kelapa sawit memiliki harga jual cukup baik di pasar internasional (Rusfidra, 2005a).
Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya bahan pangan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman dikonsumsi, merata, dan terjangkau untuk hidup pokok. Konsep ketahanan pangan (food security) biasanya diukur dalam dua tataran, yakni makro (nasional) dan mikro (rumahtangga). Konsep ketahanan pangan pada tataran makro cenderung bias karena adanya disparitas pendapatan yang cukup lebar kelompok masyarakat berpendapatan rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Ketahanan pangan yang ideal adalah ketahanan pangan pada tingkat rumahtangga. Ketahanan pangan di tingkat rumahtangga mempunyai prespektif pembangunan sangat mendasar karena: 1) akses pangan dan gizi seimbang bagi seluruh rakyat merupakan hak asasi, 2) pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas sangat dipengaruhi oleh keberhasilan memenuhi kecukupan pangan dan gizi, 3) ketahanan pangan merupakan unsur strategis dalam pembangunan ekonomi dan ketahanan nasional (Rusfidra, 2005a).
Dengan jumlah penduduk lebih dari 220 juta dan masih terus bertambah 1,3% setiap tahun, sudah selayaknya Indonesia mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan secara berkelanjutan. Ada tiga dimensi yang secara implisit terkandung di dalam ketahanan pangan, yaitu ketersediaan pangan (food availability), stabilitas pangan (food stability) dan keterjangkauan pangan (food accessibility). Namun fakta yang ada cukup mencemaskan karena ketersediaan pangan secara nasional masih sangat kurang. Indikasi tersebut dapat dilihat pada masih tingginya volume impor beberapa komoditas pangan strategis, seperti beras (sekitar 1,5 juta ton), jagung (lebih dari 500 ribu ton), bungkil kedelai (hampir 100%), gandum (100%), susu (70%) (Diwyanto dan Priyanti, 2007). Selain itu, negeri tropis ini juga mengimpor daging sapi (30 ribu ton) dan sapi hidup sekitar 450 ribu ekor setiap tahunnya (Rusfidra, 2007c).
Industri ayam ras yang tumbuh pesat sejak tahun 1980-an telah berkontribusi menyediakan daging dan telur untuk konsumsi masyarakat. Namun sayangnya dalam perkembangannya, industri ayam ras sangat tergantung pada komponen impor, terutama ayam bibit (grand parent stock, GPS dan parent stock, PS), bahan pakan (bungkil kedelai, jagung, dan tepung ikan), serta bahan baku obat dan vaksin (Diwyanto dan Priyanti, 2007).
Meskipun upaya-upaya efisiensi telah mulai dilakukan, namun peternak dalam negeri tetap belum bisa mengimbangi usaha perunggasan negara Amerika Serikat. Sebagai contoh, untuk menghasilkan 1 kg daging ayam, peternak Indoensia menghabiskan biaya sebesar Rp. 11.000, sedangkan peternak di AS hanya menghabiskan Rp. 3.500 untuk bobot 1 kg daging paha ayam. Hasil studi INDEF (Kompas, 24/4/2002) memperlihatkan bahwa tingkat keuntungan terbesar (68- 72%) diraih oleh pengusaha pabrik pakan, sedangkan peternak unggas hanya meraih sedikit keuntungan, yaitu 31% pada usaha ayam ras petelur dan 3% pada usaha ayam pedaging (lihat Tabel 8). Dapat disimpulkan bahwa penggunaan pakan komersil dalam usaha ayam ras pedaging tampaknya tidak begitu ekonomis, dan hanya sedikit keuntungan yang dapat diraih peternak. Karena itu sudah masanya mulai dikembangkan pemanfaatan bahan pakan berbasis sumber daya pakan lokal sebagai bahan pakan unggas.
Tabel 1. Persentase distribusi keuntungan dalam industri ayam ras.
Pelaku Usaha Ras Petelur Ras Pedaging
Pabrik pakan ternak 68 72
Pembibit 1 25
Peternak kecil 31 3
Jumlah 100 100
Sumber: INDEF (Kompas, 24/4/2002)
Perkembangan industri ayam ras yang bertumpu pada inovasi impor, ke depan harus diupayakan untuk lebih mandiri dan handal. Pada saat wabah flu burung merebak di beberapa negara pemasok bibit (Grand Parent Stock, GPS), Indonesia kesulitan untuk memperoleh replacement. Demikian pula halnya dengan pasokan bahan pakan, ketergantungan pada kedelai dan jagung impor juga potensial mengancam kelangsungan pabrik pakan unggas di dalam negeri sebagai industri pendukung peternakan ayam ras. Apalagi negara Amerika Serikat sebagai produsen utama jagung dunia akan menggunakan 30% jagungnya untuk mengembangkan industri bioethanol, sehingga jagung menjadi langka dan sangat mahal. Sebagai misal, menurut Dwiyanto dan Priyanti (2007) harga jagung di pasar dunia pada awal tahun 2007 hanya 135 USD/ton, namun pada bulan Oktober 2007 harganya telah meningkat dua kali lipat menjadi 270 USD/ton. Harga jagung di dalam negeri juga meningkat dari Rp. 1000/kg (2006) menjadi Rp. 2.400-2.600/kg (2007). Kondisi tersebut menyebabkan dampak berantai, harga pakan terus naik dan biaya produksi ayam meningkat, dan pada gilirannya tingkat keuntungan yang diraih peternak menjadi berkurang, karena harga jual daging ayam di pasar cenderung tetap.
Saat ini harga sebutir telur setara dengan harga sebatang rokok (Diwyanto dan Priyanti, 2007), namun rata-rata konsumsi telur di Indonesia baru sekitar 46 butir/kapita/tahun. Tingkat konsumsi yang rendah bukan semata-mata karena daya beli yang rendah, namun juga karena minimnya sosialisasi pentingnya mengkonsumsi daging, telur dan susu ke masyarakat untuk meningkat kesadaran masyarakat mengenai manfaat telur bagi kesehatan dan pertumbuhan anak sangat rendah. Fakta yang lebih ironis, masyarakat justru didorong “membakar” uang untuk mengkonsumsi rokok (1000 batang/kapita/tahun), --- yang justru berpotensi merusak kesehatan---, melalui promosi komersial produsen rokok.
Tantangan lain yang harus diperhatikan adalah ketergantungan pada bibit impor yang notabene berasal dari daerah temperate yang berhawa sejuk. Bibit ternak yang bagus di negara asalnya belum tentu mampu berproduksi maksimal di lingkungan tropis yang lembab karena adanya faktor interaksi genetik-lingkungan (IGL). Kondisi ini diperburuk dengan adanya indikasi akan terjadi suhu permukaan global, sejalan dengan kenaikan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) yang pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya perubahan iklim.
Ayam kampung yang dipelihara hampir seluruh masyarakat di pedesaan cenderung berkembang lambat. Kini terdapat sekitar 31 galur ayam kampung yang sangat potensial sebagai produsen daging dan telur. Fakta terbaru juga membuktikan bahwa ayam kampung lebih resisten terhadap penyakit flu burung dibandingkan ayam ras. Dengan demikian perkembangan industri perunggasan ke depan, tidak sepenuhnya hanya bergantung pada inovasi teknologi dan bibit impor.
3.2. Kondisi Terkini Produksi Ayam Kampung Di Indonesia
Ayam kampung merupakan ayam yang banyak dipelihara masyarakat pedesaan. Ayam ini umumnya ditemukan hidup dan berkembang di kampung-kampung, tempat dimana manusia bermukim. Itu sebabnya ayam ini dinamakan ayam kampung (village chicken, rural poultry). Manusia telah melakukan domestikasi dari ayam hutan liar dalam waktu yang lama. Relasi antara manusia dan ayam kampung bersifat mutual interaksi. Manusia memperoleh daging, telur dan uang tunai dari ayam kampung, sedangkan ayam kampung mendapatkan pakan dari sisa makanan manusia dan kandang untuk tinggal.
Kini diduga sekitar 300 juta ayam kampung tersebar dari perkotaan sampai pelosok negeri. Bila satu rumahtangga pedesaan memelihara 15 ekor ayam kampung, maka setidaknya terdapat 20 juta rumahtangga yang memelihara ayam kampung. Bila diasumsikan seekor ayam kampung memiliki nilai ekonomi Rp. 25.000., maka total nilainya adalah 7,5 trilyun. Ayam kampung berperan penting sebagai sumber pendapatan keluarga, sumber pangan hewani (daging dan telur), untuk kesenangan (hias, penyanyi, aduan), aset biologis (plasma nutfah), aset religius dan digunakan dalam ritual pengobatan.
Ayam kampung yang menjadi korban wabah flu burung misalnya, berpotensi musnah karena penyakit flu burung yang terbawa ayam ras dari luar negeri. Ternak yang tidak resisten terhadap flu burung, mati karena penyakit, sementara ayam yang resisten habis karena “dimusnahkan oleh kebijakan yang tidak bijaksana”. Tindakan “pemusnahan” ayam kampung di beberapa daerah dengan alasan mencegah penularan flu burung adalah kontraproduktif dan dapat mengganggu kestabilan ekonomi rumahtangga petani dan ketahanan pangan hewani rumahtangga. Disamping itu, Indonesia akan kehilangan plasma nutfah ayam kampung yang memiliki keunggulan spesifik.
Meskipun populasinya cukup besar, namun cara pengelolaan ayam kampung masih bersifat tradisional (100 persen). Ayam mencari makanan disekitar rumah seperti cacing tanah, limbah rumahtangga, serangga dan limbah pertanian. Jumlah pemilikan ayam skala kecil. Rataan jumlah ayam petelur 10-15 ekor/rumahtangga dapat menyuplai daging dan telur sebagai sumber pangan hewani.
Tabel 2. Populasi Ternak Unggas Indonesia tahun 1969-2000 (x 000 ekor)
(Ditjen Bina Produksi Peternakan, 2001)

No Tahun Ayam Kampung Ayam Ras Petelur Ayam Ras Pedaging Itik
1 1969 61.788 688 - 7.269
2 1974 98.650 3.450 - 13.620
3 1979 114.350 7.007 - 18.689
4 1984 166.815 29.559 110.580 24.694
5 1989 191.433 40.452 262.918 24.135
6 1994 243.261 63.334 622.965 27.536
7 1995 250.080 68.897 689.467 29.616
8 1996 260.713 78.706 755.956 29.959
9 1997 260.835 70.623 641.374 30.320
10 1998 253.133 38.861 354.004 25.950
11 1999 252.653 45.531 324.347 27.552
12 2000 259.257 69.366 530.874 29.035

Sebanyak 15 ekor ayam dewasa dapat menghasilkan 1,0-1,2 kg kotoran per hari (Aini, 1990) yang bermanfaat sebagai pupuk kandang untuk buah dan sayur di pekarangan rumah. Pada sistem produksi pedesaan, kaum perempuan memainkan peranan penting dalam pemeliharaan ayam kampung. Kegiatan memberi makan, menjual ayam, keputusan menjual ayam, keputusan vaksinasi, keputusan memotong dan mengkonsumsi daging dan telur biasanya ada pada kaum wanita. Atteh (1989) menyatakan bahwa di pedesaan Nigeria pemeliharaan ayam kampung menjadi tanggungjawab wanita (86%) dan pria (14%).
Ayam kampung merupakan salah satu bangsa ayam lokal yang populer dipelihara masyarakat diseluruh pelosok negeri. Pertumbuhan populasi unggas di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Selama periode tahun 1969-2000 pertumbuhan populasi ayam kampung relatif stabil. Ketika terjadi krisis ekonomi pertengahan tahun 1997, populasi ayam ras pedaging dan petelur mengalami penurunan yang tajam. Tidak kurang 50-60 persen peternak ayam saat itu mengalami kebangkrutan karena kesulitan meneruskan usahanya akibat mahalnya harga pakan dan bibit ayam. Pada saat tersebut ayam kampung mampu menjadi penyelamat perunggasan nasional (Rusfidra, 2007d).
3. 3. Potensi Produksi Ayam Kampung
Menurut Chen et al. (1993), ayam kampung memiliki keunggulan dalam hal resistensi terhadap penyakit, resistensi terhadap panas serta memiliki kualitas daging dan telur yang lebih baik dibandingkan dengan ayam ras. Indonesia memiliki sekitar 32 galur ayam kampung, diantaranya ayam pelung, ayam bekisar, ayam kokok balenggek, ayam nunukan, ayam merawang, ayam sentul dan lain sebagainya. Ayam-ayam tersebut merupakan plasma nutfah yang potensial dikembangkan sebagai penghasil telur dan daging.
Secara umum, ternak memiliki peran yang sangat signifikan dalam kehidupan dan vitalitas masyarakat dipedesaan (Hogberg et. al. 2005). Selain menyediakan daging dan telur untuk konsumsi, ayam ini juga dipelihara untuk menghasilkan uang tunai, memiliki nilai penting dalam aktivitas sosial (misalnya pesta jamuan untuk menghormati tamu dan untuk hadiah) dan untuk upacara keagamaan (ibadah kurban) (Yami, 1995). Studi yang dilakukan Atteh (1989) memperlihatkan bahwa tujuan pemeliharaan ayam kampung adalah: untuk mendapatkan uang tunai (11%), konsumsi sendiri (28%), untuk pendapatan dan konsumsi (45%), upacara keagamaan (3%), pendapatan dan upacara keagamaan (11%), upacara keagamaan dan konsumsi (3%) dan untuk ornamental (hiasan) (1%). Sistem produksi ayam kampung dan beberapa faktor terkait dapat dilihat pada Gambar 1.


Gambar 1. Sistem produksi ayam kampung dan beberara faktor terkait (Riise et. al. 2005 dalam Rusfidra, 2007d).

Pada umumnya, ayam kampung dipelihara oleh petani pedesaan dengan sistem ekstensif tradisional. Sepanjang waktu, ayam kampung dibiarkan bebas berkeliaran dan malam hari biasanya ternak pulang kekandang yang dibuat seadanya. Kandang biasanya terbuat dari bahan sederhana yang terdapat disekitar kampung dan mudah didapat dengan harga murah. Dinding kandang terbuat dari bambu, lantai dari kayu atau tanah dan atap dari daun palem atau jerami. Tempat makan dan air minum (jika tersedia) terbuat dari pot plastik atau tabung alumunium. Makanan biasanya diberikan satu-dua kali sehari pada pagi dan malam hari. Tipe peternakan yang diterapkan dalam produksi ternak di Indonesia adalah sistem pekarangan (backyard). Sistem pemeliharaan ayam kampung secara tradisional atau sistem pedesaan sangat populer di pedesaan (Gueye, 1998).
Terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas ayam kampung, antara lain melalui perbaikan mutu genetik (seleksi dan persilangan), perbaikan mutu pakan, perbaikan manajemen pemeliharaan, pencegahan penyakit (terutama penyakit ND), perbaikan kelembagaan penyuluhan, dan jaminan pasar. Perbaikan manajemen pemeliharaan dari pola ekstensif menjadi semi intensif dan intensif terbukti dapat meningkatkan produktivitas ayam kampung (lihat Tabel 3).
Tabel 3. Performans ayam kampung pada tiga pola pemeliharaan (Diwyanto et. al. 1996)
No. Sifat Pola Pemeliharaan
Ekstensif Semi intensif Intensif
1. Produksi telur/ekor/tahun 47 59 146
2. Produksi telur (%) 13 29 40
3. Frekuensi bertelur (kali/thn) 3 6 7
4. Daya tetas telur (%) 74 79 84
5. Bobot telur (%) 39-48 39-48 39-43
6. Konsumsi ransum/hr (g) < 60 60-68 80-100 7. Konversi ransum > 10 8-10 4,9-6,4
8. Mortalitas < 6 mgg (%) 50-56 34-42 ---
3.4. Status Kepemilikan Ayam Kampung
Pada sistem produksi pedesaan, kaum perempuan memainkan peranan penting dalam pemeliharaan ayam kampung, karena banyak pekerjaan yang bisa dilakukan oleh kaum perempuan seperti memberi makan, menjual ayam, pengambil keputusan penjualan ayam, pengambil keputusan melakukan vaksinasi, pengambil keputusan untuk memtong ayam, mengkonsumsi daging dan telur (Alders dan Spradbrow, 2001). Aktivitas tersebut dimungkinkan karena dalam pemeliharaan ayam kampung tidak dibutuhkan tenaga yang kuat dan dapat dijadikan sebagai usaha sampingan kaum wanita.
Studi yang dilakukan Atteh (1989) memperlihatkan bahwa di pedesaan Nigeria pemeliharaan ayam kampung menjadi tanggungjawab wanita (86%) dan pria (14%). Pola pemilik ayam kampung di Gambia: wanita (47%), keluarga (38%), pria (12%) dan wanita dan anak-anaknya (3%). Data tersebut di atas membuktikan bahwa pemilikan dan pemeliharaan ayam kampung di pedesaan umumnya dilakukan oleh kaum wanita dan dibantu anak-anaknya.
3.5. Tantangan Penyediaan Protein Hewani
Hingga kini ternak domestik belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi produk peternakan. Hal ini merupakan tantangan besar dalam penyediaan bahan pangan hewani sebagai sumber protein yang dibutuhkan oleh masyarakat. Saat ini konsumsi protein hewani penduduk Indonesia masih sangat rendah yakni 4,5 gram/kapita/hari, sementara konsumsi protein hewani masyarakat dunia adalah 26 gram/kapita/hari (Tuminga et.al. 1999 dalam Rusfidra, 2007d).
Merebaknya kasus gizi buruk (malnutrisi) dan busung lapar pada anak-anak usia bawah lima tahun (balita) beberapa waktu lalu sangat merisaukan kita sebagai bangsa. Masa balita merupakan “periode emas (the golden age)” pertumbuhan anak manusia dimana sel-sel otak sedang berkembang dengan pesat. Dalam periode ini protein hewani sangat dibutuhkan agar otak berkembang secara optimal, tidak sampai tulalit, (Nadesul, Kompas 9/7/05). Anak balita yang kurang gizi menyebabkan pertumbuhan sel-sel otaknya kurang berkembang dengan baik, sehingga bila otaknya discan maka akan terlihat seperti “otak kosong”, sedangkan anak balita yang mengkonsumsi gizi yang cukup dalam masa pertumbuhannya, maka hasil scaning otaknya menunjukkan profil “otak berisi” (Paturusi, 2007).
Selain itu, agaknya, diperlukan program penyediaan sumber protein hewani yang murah, mudah tersedia, terjangkau dan bergizi tinggi pada tingkat rumahtangga. Dalam konteks ini, program “Family Poultry” layak ditimbang sebagai sebuah solusi mengatasi terjadinya malnutrisi, efektif dalam pengentasan kemiskinan, menjaga ketahanan pangan pada tingkat rumahtangga dan sebagai sumber pendapatan (Rusfidra, 2005a, Rusfidra, 2005c, Rusfidra, 2005d).
Meskipun masyarakat menyadari pangan hewani sebagai kebutuhan primer namun hingga kini konsumsi protein hewani penduduk Indonesia sangat rendah. Pada tahun 2000, konsumsi daging unggas penduduk Indonesia hanya 3,5 kg/kapita/tahun, sedangkan konsumsi penduduk Malaysia (36,7 kg), Thailand (13,5 kg), Fhilipina (7,6 kg), Vietnam (4,6 kg) dan Myanmar (4,2 kg) (Poultry International, 2003 dalam Rusfidra, 2007d). Konsumsi daging unggas penduduk Indonesia hanya 10 gram/kapita/hari, sedangkan Malaysia 100 gram/kapita/hari.
Konsumsi telur penduduk Indonesia juga rendah, yakni 2,7 kg/kapita/tahun, sedangkan Malaysia 14,4 kg, Thailand 9,9 kg dan Fhilipina 6,2 kg. Bila satu kilogram telur rata-rata terdiri atas 17 butir, maka konsumsi telur penduduk Indonesia sekitar 46 butir/kapita/tahun atau 1/8 butir/kapita/hari. Pada periode yang sama, penduduk Malaysia setiap tahunnya memakan 245 butir telur atau 2/3 butir telur/kapita/hari.
Konsumsi protein hewani atau produk peternakan (daging, telur dan susu), secara cita rasa dan fungsionalnya amat berbeda dengan produk tanaman pangan sumber karbohidrat seperti ubi-ubian, beras dan jagung. Permintaan terhadap produk tanaman pangan pada umumnya bersifat inferior, yang tingkat konsumsinya akan menurun seiring dengan peningkatan pendapatan konsumen, sedangkan permintaan terhadap produk peternakan cenderung bersifat ‘mewah’, yang meningkat cepat atau bahkan lebih cepat dari laju peningkatan pendapatan konsumen. Ada kecenderungan peningkatan pendapatan diikuti dengan meningkatnya konsumsi pangan hewani.
Analisis paling akhir oleh Prof. I.K Han, guru besar Ilmu Produksi Ternak Universitas Nasional Seoul (1999) menyatakan adanya kaitan positif antara tingkat konsumsi protein hewani dengan umur harapan hidup (UHH) dan pendapatan perkapita. Semakin tinggi konsumsi protein hewani penduduk semakin tinggi umur harapan hidup dan pendapatan domestik brutto (PDB) suatu negara. Negara-negara berkembang seperti Korea, Brazil, China, Fhilipina dan Afrika Selatan memiliki konsumsi protein hewani 20-40 gram/kapita/hari, UHH penduduknya berkisar 65-75 tahun. Negara-negara maju seperti AS, Prancis, Jepang, Kanada dan Inggris konsumsi protein hewani masyarakatnya 50-80 gram/kapita/hari, UHH penduduknya 75-85 tahun. Sementara itu, negara-negara yang konsumsi protein hewani di bawah 10 gram/kapita/hari seperti Banglades, India dan Indonesia, UHH penduduknya hanya berkisar 55-65 tahun (Han, 1999).
3.5. Produksi “Family Poultry”
“Family Poultry” (FP) merupakan program Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) untuk mendukung tersedianya sumber protein hewani, sumber pendapatan dan pengentasan kemiskinan di negara-negara berkembang. Program ini dikembangkan di negara-negara sub-Sahara Afrika, Asia Tenggara, Asia Selatan dan Amerika Selatan dengan menjadikan ayam kampung sebagai sumber protein hewani dan pendapatan keluarga. Tujuan FP adalah mewujudkan ketahanan pangan pada tingkat rumahtangga dan sebagai sumber uang tunai bagi keluarga miskin dan sangat miskin. Olukosi (2005) dalam Rusfidra (2007c,d) menyimpulkan bahwa FP merupakan sebuah piranti (tool) dalam pengentasan kemiskinan.
Dengan melihat keberhasilan program FP di beberapa negara berkembang, penulis menduga bahwa program ini layak dikembangkan di Indonesia. Jenis ternak yang akan menjadi basis pengembangan program FP adalah ayam kampung (Rusfidra, 2005a,c, 2006, 2007). Ayam kampung banyak dipelihara masyarakat di perdesaan. Pada tahun 1997 terdapat 270,7 juta ekor ayam kampung (Ditjen Peternakan, 1997) yang tersebar diseluruh negeri. Daging dan telurnya sangat digemari masyarakat karena bergizi tinggi, gurih, dan digemari konsumen. Model sistem produksi “Family Poultry” berbasis 10 ekor ayam kampung ditampilkan pada Gambar 2.
Menurut Aini (1990), pemeliharaan ayam kampung petelur sebanyak 10-15 ekor per rumahtangga dapat menyuplai daging dan telur sebagai bahan pangan sumber protein hewani anggota keluarga. Untuk kasus Indonesia, penulis menyarankan FP dikembangkan dengan populasi dasar 10 ekor ayam betina dan 1 ekor jantan. Bila setiap induk menghasilkan telur rata-rata 50 butir/ekor/tahun (ini adalah asumsi produksi rendah), maka dalam satu tahun dihasilkan 500 butir telur. Adapun rasio pemanfaatan telur adalah sebagai berikut: 250 telur ditetaskan (50%), 150 telur dikonsumsi (sumber protein hewani) (30%) dan 100 telur dijual (20%).
Bila diasumsikan daya tetas sebesar 80% maka didapatkan 200 ekor anak ayam umur sehari (DOC, day old chick). Bila angka mortalitas 40% pada ayam umur di bawah delapan minggu dan 16% pada ayam dara (di atas delapan minggu), maka didapatkan 96 ekor ayam dara. Sebanyak 24 ekor ayam dipotong untuk dimakan, 24 ekor dijual dan 48 ekor akan dijadikan induk (breed stock). Ini berarti dalam waktu satu tahun untuk setiap 10 ekor induk akan menghasilkan 48 ekor ayam betina calon induk baru per tahun, sehingga total jumlah induk betina adalah 58 ekor, meningkat 5,8 kali dari populasi dasar. Selain itu, petani juga mendapatkan uang tunai sebanyak Rp. 670.000, mengkonsumsi 150 butir telur dan 24 ekor ayam pada tahun pertama, dan meningkat 5,8 kali pada tahun berikutnya.


















Gambar 2. Model sistem “Family Poultry” berbasis 10 ekor ayam kampung
untuk mengatasi gizi buruk dan pengentasan kemiskinan (Rusfidra, 2005a,c, 2007a,d)

Bila ayam kampung dipelihara dengan baik, maka ayam tersebut akan memainkan peranan penting sebagai sumber protein hewani (daging dan telur) dan sebagai sumber pendapatan bagi rumahtangga miskin, sehingga kasus malnutrisi dapat diatasi secara sistematis. Oleh karena itu, program FP layak ditimbang sebagai sebuah solusi praktis dalam mengatasi kasus gizi buruk, efektif dalam pengentasan kemiskinan dan menjaga ketahanan pangan pada tingkat rumahtangga bagi 15,5 juta rumahtangga miskin di Indonesia (Rusfidra, 2005a, 2007d).
IV. PENUTUP
4.1. Simpulan
Dari paparan terdahulu dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Ayam kampung dapat diusahakan untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat dan sebagai “pabrik” protein hewani untuk ketahanan pangan hewani rumah tangga di pedesaan. Selain menghasilkan daging dan telur, ayam kampung merupakan aset biologis (plasma nutfah), sumber pendapatan, tabungan hidup (bio investasi) dan sumber pupuk organik.
2. Pengembangan “Family Poultry” berbasis ayam kampung, agaknya, dapat dilakukan untuk mendukung tersedianya protein hewani, sumber pendapatan dan pengentasan kemiskinan.
4.2. Rekomendasi
Ayam kampung layak dipertimbangkan sebagai solusi dalam penyediaan protein hewani (asal ternak), sebagai sumber pendapatan dan pengentasan kemiskinan masyarakat di pedesaan.
DAFTAR PUSTAKA

Aini, I. 1990. Indigenous poultry production in South East Asia. World Poult. Sci. 46: 51-57.
Alders, R and P. Spadbrow. 2001. Controling Newcastle Desease in Village Chickens: A Field Manual. Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR). ACIAR Monograph No 82.
Atteh, J. O. 1989. Rural poultry production in Western Middle Belt Regoin of Nigeria. In: Proceeding of an International Workshop on Rural Poultry Development in Africa. (Sonaiya, E.B., Ed.), Ile-Ife Nigeria, pp. 211-220
Campbell, J. R, and Lasley, J. F. 1985. The Science of Animals that Serve Humanity. Ed. 3rd . McGraww-Hill Publication in the Agricultural Science.
Chen. C. F., Y. P. Lee., Z. H. Lee., S. Y. Huang and H. H. Huang. 1993. Heritability and genetic correlations of egg quality traits in Taiwan’s local chickens. AJAS, 6 (3): 433-440.
Delgado, C., M. Rosegrant, H. Steinfeld. S. Ehui and C. Courbois. 1999. Livestock 2020: The next food revolution. www.ifpri.org/2020/briefs/number61.html
Diwyanto, K dan A. Priyanti. 2007. Pengembangan industri peternakan berbasis sumber daya lokal. Makalah pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) IX. Jakarta: LIPI dan Ditjen Dikti Depdiknas, 20-22 November 2007.
Diwyanto, K, D. Zainuddin, T. Sartika, S. Rahayu, Djufri, C. Arifin dan Cholil. 1996. Model pengembangan peternakan rakyat terpadu berorientasi agribisnis. Komoditi ternak ayam kampung. Jakarta: Laporan Ditjen Peternakan bekerjsama dengan Balai Penelitian Ternak.
Direktorat Jendral Bina Produksi Peternakan. 2001. Buku Statistik Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.
Gueye, E.H. F. 1998. Village egg and fowl meat production in Africa. World Poult. Sci. Journal. 54: 73-86
Han, I. K. 1999. Role of animal agriculture for the quality of human life in the 21st century. Asian-Aus. J. Anim. Sci. 12 (5): 815-836.
Hogberg, M. G., S. L. Falest., F. L. Kirschenmann., M. S. Honeyman., J. A. Miranowski, and P. Lasley. 2005. Interrelationships of animal agriculture, the environment, and rural communities. J. Anim. Sci. 83 (E. Suppl.): E13-E17.
Paturusi, I. A. 2007. Kontribusi ilmu pengetahuan dalam pengembangan Kawasan Timur Indonesia. Makalah dipresentasikan pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) IX. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia – Ditjen Pendidikan Tinggi Depdiknas. 20-22 November 2007.
Rusfidra. 2007a. Paradigma Baru Pembangunan Peternakan; Membangun Peternakan Bertumpu Ternak Lokal. Bogor: CENDEKIA Publishing House.
Rusfidra. 2007b. Ternak dan Pengentasan Kemiskinan. Bogor: CENDEKIA Publishing House.
Rusfidra. 2007c. Pengembangan peternakan di kawasan pesisir. Makalah dipresentasikan pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) IX. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia – Ditjen Pendidikan Tinggi Depdiknas. 20-22 November 2007.
Rusfidra. 2007d. Rural poultry keeping in Indonesia to household food security and poverty alleviation. Prosiding Seminar Nasional PERSADA ke-13. Bogor: Perhimpunan Alumni dari Jepang (PERSADA) – FKH IPB. 9 Agustus 2007.
Rusfidra. 2007e. Pengembangan model “Family Poultry” berbasis ayam kampung untuk pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan hewani dan kecerdasan SDM. Prosiding SEMIRATA BKS PTN-Barat tahun 2007. Faperta UNRI, Pekanbaru, 23-26 Juli 2007.
Rusfidra. 2007f. Ayam kampung diambang kepunahan? Artikel www.cimbuak.net (6 Februari 2007)
Rusfidra. 2006a. Pengembangan peternakan unggas berbasis “Family Poultry” untuk mewujudkan ketahanan pangan hewani dan perbaikan mutu gizi. Prosiding Seminar Nasional SPMIPA. Semarang: FMIPA. Univ. Diponegoro, 9 September 2006.
Rusfidra. 2006b. Model pengembangan peternakan di wilayah pesisir untuk mewujudkan ketahanan pangan hewani, pengentasan kemiskinan dan kecerdasan SDM. Prosiding Konferensi Nasional Pengelolaan Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil. Batam: Departemen Kelautan dan Perikanan, Hotel Novotel Batam, 29 Agustus s/d 1 September 2006.
Rusfidra. 2006c. BLT, malnutrisi dan family poultry. Artikel www.bung-hatta.ac.id (20 Februari 2006).
Rusfidra. 2005a. Mencegah gizi buruk dan mengentaskan kemiskinan; peternakan skala rumahan. Artikel iptek Pikiran Rakyat Bandung, 25 Agustus 2005.
Rusfidra. 2005b. Protein hewani dan kecerdasan. Artikel Opini Sinar Harapan, Jakarta, 8 September 2005.
Rusfidra. 2004. Peternakan dan ketahanan pangan. Artikel iptek Majalah Amanah No 50 th XVII Mei 2004, Jakarta
Rusfidra. 2003. Sistem produksi ayam kampung di pedesaan Indonesia. Jurnal Eksakta, 2003, Hal. 35-45. ISSN 0215-2673. Padang: FMIPA Universitas Negeri Padang.
Yamamoto, Y., T. Namikawa., I. Okada., M. Nishibori., S. S. Manjoer and H. Martojo. 1996. Genetical studies on natives chickens in Indonesia. AJAS, 9 (4): 405-410.
Yami, A. 1995. Poultry production in Ethiopia. World Poult. Sci. Journal 51: 197-201.

Penulis,

Dr. Rusfidra, S.Pt
(Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan UNAND)
Penulis dilahirkan di Nagari Kudu Gantiang, Kab. Padang Pariaman, Sumatera Barat, 22 Juni 1971. Lulus S1 Fakultas Peternakan UNAND Padang pada tahun 1994. Pada tahun 2004 memperoleh gelar doktor Ilmu Peternakan dari IPB Bogor. Saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar Fakultas Peternakan UNAND. Penulis belajar menulis secara mandiri sejak tahun 2002. Ia telah menulis 100 artikel dan 65 diantaranya dimuat di media massa nasional (Republika, Sinar Harapan, Pikiran Rakyat, Padang Ekspres, Amanah, Tarbawi, Buletin Charoen Pokphand) dan beberapa website. Dalam tahun 2007, penulis menerbitkan 4 buku populer peternakan dan 1 buah buku teks yang dipakai secara nasional (khususnya oleh mahasiswa Universitas Terbuka). Ia juga aktif menyampaikan makalah pada berbagai forum seminar ilmiah tingkat nasional di berbagai kota (Jakarta, Bogor, Bandung, Batam, Banten, Yogyakarta, Semarang, Pekanbaru dan Bandar Lampung), di berbagai lembaga (LIPI, Pusat Inovasi LIPI, Puslit Bioteknologi LIPI, FKH IPB, Faperta IPB, FMIPA UNDIP, FMIPA UNES, FMIPA UNY, Faperta UNRI, Lemlit UNILA, PPs UPI, DKP, PPs USAHID, Ditjen Hortikultura DEPTAN, Puslitbang Peternakan dan FMIPA UT). Kumpulan tulisannya dapat dibaca di blog: http://rusfidra.multiply.com

Alamat korespondensi:
Dr. Rusfidra, S.Pt
Kampus FATERNA UNAND Limau Manis, Padang, 25163
HP. 0813-8065-8871
Blog : http://rusfidra.multiply.com
Email : rusfidra_unand@yahoo.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar