ANALISIS POTENSI PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI –KELAPA SAWIT (SISKA) DI KABUPATEN DHARMASRAYA
oleh : Azhari Nuridinar
Mahasiswa Teknologi Hasil Ternak Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Andalas
ABSTRAK :
Kegiatan ini menggambarkan pada aktifitas petani sawit di Kabupaten Dharmasraya yang menggunakan pestisida sebagai bahan pembasmi rumput hama dan gulma. Meskipun terdapat dampak yang tidak baik bagi manusia dan lingkungan, pestisida, termasuk herbisida, seringkali digunakan di perkebunan-perkebunan kelapa sawit. Perkebunan sawit merupakan sebagai usaha utama masyarakat disana dengan luas lahan mencapai 76.163 hektar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana potensi penerapan sistem integrasi sapi – kelapa sawit di Kabupaten Dharmasraya guna mengurangi pengunaan pestisida. Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan evaluasi dan pembanding penerapan integrasi sapi-sawit guna mengatasi masalah pencemaran lingkungan akibat limbah pengolahan sawit dengan mengolah menjadi pakan ternak. Data yang diperoleh dianalisis dan dikaji dengan menggunakan metode SWOT. Hasil analisis diperoleh gambaran bahwa Kabupaten Dharmasraya memiliki potensi penerapan sistem integrasi sapi-sawit.
Kata Kunci: Pestisida, sapi potong, integrasi, kelapa sawit
PENDAHULUAN
Melihat potensi Sumatera Barat khususnya Kabupaten Dharmasraya merupakan daerah perkebunan sawit dengan luas mencapai 76.163 hektar. Potensi kebun sawit ini belum termanfaatkan dengan optimal oleh masyarakat, selama ini produk yang mempunyai nilai hanya pada tandan buah saja sedangkan hasil ikutan berupa rumput, pelapah dan limbah hasil olahan tidak dimanfaatkan. Padahal hasil ikutan dari rumput, daun dan pelapah dengan lahan seluas 5 ha mampu menampung 23 unit ternak dewasa. Selain itu dapat mengurangi penggunaan pestisida pembasmi gulma dan penggunaan pupuk buatan serta pemanfaatan limbah pabrik hasil perkebunan sawit. Dengan penerapan Sistem Integrasi sapi – Kelapa Sawit (SISKA) memberikan dampak yang sangat besar, terutama dalam memperbaiki manajemen pengelolaan perkebunan kelapa sawit dan pengelolaan sapi yang efektif bagi peningkatan produktivitas.
Melalui SISKA suplai tandan buah segar (TBS) untuk pabrik kelapa sawit dan pakan ternak sapi dapat berkelanjutan, pendapatan pemanen meningkat serta terjadi efisiensi biaya perusahaan. Disisi lain dengan adanya SISKA terbuka peluang pengembangan agribisnis ternak sapi. Perkebunan kelapa sawit dapat menjadi sentra bibit sapi dan industri daging. Dalam jangka panjang hal ini akan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap import daging dan sapi bakalan terutama dari Negara Australia. Pengembangan SISKA juga akan memberikan peluang untuk terciptanya lapangan kerja, meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) serta menjaga pelestarian lingkungan dengan cara pemanfaatan limbah pabrik secara optimal.
Sedangkan pemilikan sapi potong masih kecil dan disertai dengan pola pemeliharaan yang belum intensif menyebabkan tingkat produktifitas sapi potong masih rendah. Sementara dilain sisi permintaan pasar akan produk peternakan terus meningkat sejalan dengan pertambahan populasi penduduk dan semakin tingginya kesadaran masyarakat akan pentingnya produk peternakan.
Dilihat dari potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan peluang pasar lokal yang sangat terbuka maka Kabupaten Dharmasraya sangat berpeluang untuk mengembangkan usaha peternakan sapi potong. Salah satu upaya untuk dapat meningkatkan produktifitas sapi potong tersebut adalah dengan menerapkan pola integrasi sapi potong dengan kelapa sawit. Sumber daya alam yang belum dimanfaatkan secara optimal dan tersedia sepanjang tahun adalah sumber pakan alternatif asal perkebunan kelapa sawit. Pada tulisan ini akan diuraikan potensi perkebunan kelapa sawit yang tersedia untuk dapat dipergunakan sebagai landasan untuk mengurangi penggunaan pestisida oleh petani sawit sekaligus untuk mengembangkan usaha sapi potong lokal.
Kelapa sawit adalah tanaman perkebunan/industri berupa pohon batang lurus dari famili Palmae. Tanaman tropis ini dikenal sebagai penghasil minyak sayur yang berasal dari Amerika. Brazil dipercaya sebagai tempat di mana pertama kali kelapa sawit tumbuh. Dari tempat asalnya, tanaman ini menyebar ke Afrika, Amerika Equatorial, Asia Tenggara, dan Pasifik Selatan. Benih kelapa sawit pertama kali yang ditanam di Indonesia pada tahun 1984 berasal dari Mauritius, Afrika. Perkebunan kelapa sawit pertama dibangun di Tanahitam, Hulu Sumatera Utara oleh Schadt (Jerman) pada tahun 1911.
Kelapa sawit (Elaeis Guineensis Jacq) sangat penting artinya bagi Indonesia dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini sebagai komoditi andalan untuk ekspor maupun komoditi yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan harkat petani perkebunan serta transmigrasi Indonesia (Lubis A.U.1992). Kebutuhan minyak sawit dunia tahun 2003-2007 mencapai 21,4 persen dari total konsumsi minyak nabati dunia sebesar 118.06 juta ton, atau sekitar 25,26 juta ton (Damanhuri, 1999). Tingginya permintaan dunia akan minyak sawit setiap tahunnya meningkat rata-rata 6,5 persen.
Produk utama ekstraksi buah kelapa sawit adalah minyak sawit (crude palm oil, CPO), sementara hasil ikutannya adalah tandan kosong, serat perasan, lumpur sawit/solid, dan bungkil inti kelapa sawit. Liwang (2003) melaporkan setiap hektar tanaman kelapa sawit dapat menghasilkan 4 ton CPO/tahun, yang diperoleh dari + 16 ton tandan buah segar (TBS) (Jalaludin et al. 1991). Selanjutnya, setiap 1 ton TBS menghasilkan 294 kg lumpur sawit, 35 kg bungkil kelapa sawit, dan 180 kg serat perasan. Jumlah tersebut dapat disetarakan dengan 1.132 kg lumpur sawit, 514 kg bungkil kelapa sawit, 2.681 kg serat perasan, dan 3.389 kg tandan kosong untuk setiap hektar per tahun.
Selain mengasilkan minyak, sawit juga menghasilkan produk sampingan yang masih dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Produk samping yang dihasilkan, baik yang berasal dari tanaman (Ishida dan Hassan 1997) maupun pengolahan buah kelapa sawit (Wan Zahari et al. 2003) berpotensi untuk dioptimalkan sebagai bahan pakan ruminansia, khususnya sapi potong. Produk samping asal kebun meliputi pelepah, daun, dan batang (Kawamoto et al. 2001). Produk sampingan ini masih memiliki nilai nutrisi yang cukup guna memenuhi kebutuhan ternak ruminansia. Produk samping tanaman dan hasil ikutan pengolahan buah kelapa sawit belum dimanfaatkan secara optimal, khususnya sebagai bahan dasar ransum ternak ruminansia (Noel 2003). Adapun kandungan gizi dari hasil ikutan sawit dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Komposisi nutrisi produk samping tanaman dan hasil ikutan pengolahan buah kelapa sawit.
Bahan/produk sampingan | BK | Abu | PK | SK | L | BETN | Ca | P | GE |
(%) | ……………..……..% BK ……………………….. | (kal/g) | |||||||
Daun tanpa lidi | 46,18 | 13,40 | 14,12 | 21,52 | 4,37 | 46,59 | 0,84 | 0,17 | 4.461 |
Pelepah | 26,07 | 5,10 | 3,07 | 50,94 | 1,07 | 39,82 | 0,96 | 0,08 | 4.841 |
Lumpur sawit | 24,08 | 14,40 | 14,58 | 35,88 | 14,78 | 16,36 | 1,08 | 0,25 | 4.082 |
Bungkil | 91,83 | 4,14 | 16,33 | 36,68 | 6,49 | 28,19 | 0,56 | 0,84 | 5.178 |
Serat perasan | 93,11 | 5,90 | 6,20 | 48,10 | 3,22 | - | - | - | 4.684 |
Tandan kosong | 92,10 | 7,89 | 3,70 | 47,93 | 4,70 | - | 0,24 | 0,04 | 3.367 |
Sumber: Mathius et al. (2004).
Pada tabel 1 terlihat bahwa sebagian besar produk samping tersebut mengandung serat kasar cukup tinggi. Oleh karena itu, bila diberikan secara tunggal kepada ternak ruminansia dapat menyebabkan ternak kekurangan pasokan nutrient. Ditinjau dari kandungan nutrien, pelepah kelapa sawit dapat digunakan sebagai sumber atau pengganti pakan hijauan yang umum diberikan sebagai bahan dasar pakan (Hassan dan Ishida 1992), sementara Mathius et al. (2004a) membatasi jumlah pemberian pelepah maksimal 33% dari total kebutuhan bahan kering untuk sapi Bali.
Wan Zahari et al.(2003) menyatakan untuk meningkatkan nilai nutrient dan biologis pelepah melalui pembuatan silase dengan menambahkan urea atau molases belum memberikan hasil yang signifikan, tetapi nilai nutrien cenderung meningkat. Namun pemberiannya disarankan tidak melebihi 30%. Untuk meningkatkan konsumsi dan kecernaan pelepah dapat dilakukan dengan menambahkan produk ikutan pengolahan buah kelapa sawit.
Sistem Integrasi Sapi-Sawit merupakan perpaduan antara manajemen perkebunan kelapa sawit dengan ternak sapi. Perkebunan kelapa sawit dikelola agar hasil samping tanaman terutama pelepah dapat tersedia sepanjang hari untuk pakan sapi yang dimanfaatkan sebagai pengendali rumput/gulma sekitar kebun, pengangkut buah sawit dan penghasil kotoran sebagai sumber pupuk organik dan biogas. Beberapa hasil areal kebun, limbah kebun dan limbah industri pabriknya yang dapat dimanfaatkan oleh ternak ruminansia adalah:
a. Hasil dan limbah kebun kelapa sawit
• Hijauan kebun antar tanaman (covercrop/ground) dan rumput
• Pelepah dan daun kelapa sawit
b. Limbah pabrik minyak kelapa sawit
• Serat buah (serabut/fibre)
• Lumpur sawit
• Bungkil inti sawit (BIS)
• Limbah padat (solid)
Tandan buah kosong kelapa sawit
Sedangkan ternak ruminansia (sapi potong) juga memberi dampak positif terhadap perkebunan kelapa sawit. Dampak tersebut seperti pengurangan penggunaan pestisida dalam pengendalian gulma, pengurangan penggunaan pupuk anorganik sebab dapat tergantikan dengan oleh feses yang dihasilkan oleh ternak. Bahkan dapat diterapkannya teknologi biogas di kawasan perkebunan. Menambah pendapatan masyarakat dengan memelihara ternak sapi untuk dijual dagingnya.
METODE PENELITIAN
Kajian ini merupakan hasil pengamatan penulis selama melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kabupaten Dharmasraya. Waktu pelaksanaan kegiatan selama 14 juli sampai 30 Agustus 2008. Kegiatan pengkajian yang dilakukan menggunakan rancangan penelitian yang sesuai dengan kondisi yang dikerjakan. Penelitian ini dirancang dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Bogand dan Taylor (dalam Maleong, 1993:3) metode kualitatif didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan oleh orang-orang dan prilaku yang dapat diamati. Pengumpulan data dipergunakan teknik observasi, wawancara dan studi kepustakaan. Sehingga Jenis data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan metode SWOT untuk mengetahui dan mengkaji potensi daerah, kelemahan yang ada, peluang yang tercipta dan ancaman bila rumusan diterapkan. Kemudian dianalisis juga relevansinya dengan penelitian-penelitian terbaru dari internet.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kabupaten Dharmasraya memiliki perkebunan sawit dengan luas mencapai 76.163 hektar atau 13 % dari luas wilayah. Lahan sawit di Kabupaten ini banyak terdapat di Kecamatan Koto Baru. Kecamatan ini memiliki potensi lahan sawit perumahan yang dapat dikelola untuk penerapan integrasi sapi-sawit. Adanya lahan sawit diperumahan (lahan perumahan yang luasnya setengah hektar ditanami sawit) menjadikan daerah ini berbeda dengan daerah lain yang memiliki perkebunan sawit. Dalam kaitannya dengan usaha penggemukan sapi, adanya lahan sawit perumahan maka petani akan mendapat banyak kemudahan. Pertama, lahan yang berdampingan dengan rumah akan lebih memudahkan petani dalam memelihara sapi. Kedua, rumah yang dekat dengan kebun maka tingkat keamanan ternak lebih terjamin. Dan ketiga, pengelolaan ternak secara berkelompok akan lebih mudah dalam rangka mengkoordinir anggota kelompok tani yang ada. Pemeliharaan sapi pola integrasi sapi sawit dilakukan dengan system kandang kelompok, sehingga inovasi berbagai teknologi budidaya (pemuliaan, reproduksi nutrisi dan vertiriner) dapat diaplikasikan.
Potensi Produksi
Penerapan Sistem Integrasi Sapi dan Kelapa Sawit (SISKA) di Kabupaten Dharmasraya memiliki potensi produksi yang cukup tinggi. Dengan luas lahan 76.163 hektar diasumsikan penerapan SISKA mampu menghasilkan pakan ternak sapi potong yang bersumber dari:
Produksi Hijauan
Hijauan yang tumbuh di bawah pohon kelapa sawit biasanya didominasi oleh tanaman pakis, rumput teki, kacang kacangan, tanaman semak dan alang-alang (Batubara et al., 1999). Rata-rata produksi hijauan di bawah kelapa sawit 5-10 tahun adalah 10,479 ton ha/tahun dan pohon kelapa sawit umur 10–20 tahun adalah 14,827 ton ha/tahun. Jika 1 ha lahan perkebunan kelapa sawit dengan sumber pakan hijauan mampu menampung 1 unit ternak maka sekitar 76.163 ekor sapi bisa ditampung.
Produksi Daun Kelapa Sawit
Daun sawit diperoleh dari pemangkasan tanaman kelapa sawit. Pada 1 hektar lahan perkebunan kelapa sawit dengan jarak tanam 9 x 9 m diperkirakan terdapat 138 batang kelapa sawit. Jika setiap pelepah menghasilkan ± 0,5 kg pakan dan setiap pohon menghasilkan 22 pelepah daun per tahun, berarti 1 hektar lahan perkebunan sawit dapat menghasilkan 1.518 kg daun/ha/tahun, yang berarti di terdapat 115.615.434 kg daun/tahun. Jika kebutuhan satu sapi 25 kg, berarti produksi kebun kelapa sawit sebagai sumber pakan sapi dewasa sebanyak 4.624.617,36 juta sapi.
Pelepah Sawit
Pelepah sawit memiliki kandungan protein kasar 15% dan berfungsi sebagai pengganti sumber serat pakan sapi. Sebagai sumber pakan, pelepah sawit masih sedikit dimanfaatkan meskipun 1 pohon kelapa sawit dapat menghasilkan 22 buah pelepah sawit dan 1 buah pelepah setelah dikupas untuk pakan ternak beratnya mencapai 7 kg. Pada luas perkebunan kelapa sawit 76.163 ha berarti terdapat (7 kg x 138 x 22 x 76.163) = 1.618.616.076 kg pelepah/tahun. Jika satu ternak membutuhkan pakan 25 kg ekor/hari berarti pelepah kebun sawit dapat menyediakan pakan ternak untuk 64.744.643,04 sapi/tahun.
Limbah Kelapa Sawit
Produk kelapa sawit lain yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak yaitu bungkil inti sawit (BIS), lumpur sawit dan serat perasan buah sawit. Menurut Jalaludin et al. (1991), setiap 1.000 kg tandan buah segar dapat diperoleh minyak sawit 250 kg serta hasil samping 294 kg lumpur sawit, 35 kg bungkil inti sawit dan 180 kg serat perasan. Serat perasan kelapa sawit memiliki kandungan serat kasar 48% dan protein kasar 6%. Tetapi kemampuan ternak mengkonsumsi serat perasan sangat rendah karena rendahnya kecernaan serat perasan tersebut, yakni hanya mencapai 24–30% (Abu Hasan et al., 1991). Lumpur sawit memiliki kandungan protein 12– 14% dan kendala penggunaan lumpur sawit sebagai pakan adalah tingginya kandungan air, rendahnya kandungan energi dan abu yang tinggi sehingga tidak dapat digunakan sebagai pakan tunggal dan harus disertai produk samping lain.
Kelemahan
Pada saat ini petani umumnya hanya berperan sebagai keeper atau user, bukan sebagai producer apalagi breeder dan kurangnya minat investor untuk mengembangkan usaha penggemukan sapi potong di daerah ini. Petani memelihara sapi hanya sebagai keeper dengan manfaat untuk berbagai tujuan, antara lain : (a). akumulasi asset, (b). mengisi waktu luang, (c). sumber tenaga kerja, (d). penghasil pupuk dan (e). sebagai simbol status social atau sekedar hobi.
Dengan kondisi tersebut, pengembangan sapi secara bisnis di daerah ini tidak atau belum terlaksana. Disamping itu, petani belum mampu menjalankan kualitas pakan dari limbah sawit melalui perlakuan fisik, kimiawi maupun biologis. Padahal teknologi yang tersedia saat ini memungkinkan untuk dilakukan penyediaan pakan dalam jumlah yang memadai untuk disimpan sepanjang tahun.
Berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi dalam sistem pengembangan ternak integrasi dengan perkebunan sawit antara lain adalah belum tersedianya bibit ternak yang memadai, sulitnya merubah cara tradisional pemeliharaan ternak yaitu dari yang tidak dikandangkan ke cara dikandangkan, dan kebijakan pengembangan ternak yang kurang konsisten.
Tingkat pendidikan masyarakat petani sawit masih rendah. Hal ini disebabkan anggapan bahwa mereka bisa berhasil dan kaya tanpa harus bersekolah. Mereka merasa cukup pandai membaca dan berhitung agar tidak mudah ditipu orang lain. Tingkat pendidikan petani sawit umumnya tamatan Sekolah Dasar sehingga upaya penyerapan inovasi berjalan lambat. Salah satunya adalah penerapan Integrasi sapi-sawit ini. Selain itu, kebiasaan petani sawit yang selalu menggunakan pestisida untuk mengendalikan gulma sawit sulit dirubah.
Dampak Penerapan SISKA
Penerapan SISKA memiliki dampak yang besar sekali terhadap peningkatan perekonomian masyarakat. Selain itu, dampak penerapan teknologi dan peningkatan social budaya masyarakat juga meningkat. Seperti gambar 1.
Gambar 1. Alternatif model Penerapan Sistem Integrasi Sapi – Kelapa Sawit
Dari gambar tersebut, semuanya bermuara pada peningkatan pendapatan petani kelapa sawit yang menerapkan SISKA. Manajemen pengelolaan perkebunan sawit dan sapi potong dapat diterapkan oleh masyarakat dengan melalui pelatihan dan penyuluhan terlebih dahulu oleh pemerintah agar masyarakat lebih memahami SISKA tersebut.
Penerapan SISKA mampu memanfaatkan limbah yang dihasilkan dari perkebunan sawit seperti : daun sawit, pelepah dan rumput sebagai pakan ternak. Sehingga tidak ada pembakaran daun dan pelepah sawit atau penggunaan pestisida untuk mengendalikan pertumbuhan rumput dan gulma lainnya. Feses yang dihasilkan oleh sapi dapat dimanfaatkan sebagai pupuk dan biogas. Penggunaan feses sebagai pupuk bisa menekan biaya produksi sawit untuk membeli pupuk buatan. Penerapan teknologi biogas memgurangi biaya bahan bakar untuk memasak. Dengan demikian terjadi penghematan secara signifikan dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Bagi pemerintah, program SISKA merupakan salah satu usaha program Percepatan Swasembada Daging Sapi (P2SDS) selain sebagai peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Usaha untuk mensejahterakan masyarakat merupakan fokus utama pemerintah guna tercapainya kedaulatan pangan hewani berbasis potensi lokal.
Kesimpulan dan Saran
Dari segi sumber daya alam, Kabupaten Dharmasraya memiliki potensi untuk penerapan Sistem Integrasi Sapi – Kelapa Sawit (SISKA). Hasil ikutan dan limbah dari perkebunan kelapa sawit dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak sapi potong. Namun dari segi Sumber daya manusia, tingkat pendidikan petani sawit masih rendah membuat penyerapan inovasi teknologi SISKA akan terkendala. Maka disarankan kepada pemerintah untuk menggiatkan penyuluhan dan pembinaan masyarakat dalam bidang pendidikan kepada petani sawit di Kabupaten Dharmasraya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Batubara, A., I. Kasup, A.A. Kesma. A. Irfan, H. Simanjuntak dan Harahap. 1999. Kajian integrasi penggemukan ternak sapi potong di lahan perkebunan kelapa sawit. Laporan Hasil Kegiatan BPTP Riau. 2000.
Hassan, O.A. and M. Ishida. 1992. Status of utilization of selected fibrous crop residues and animal performance with special emphasis on processing of oil palm frond (OPF) for ruminant feed in Malaysia. Trop. Agric. Res. Series 24: 135-143.
Ishida, M. and O.A. Hassan. 1997. Utilization of oil palm frond as cattle feed. JARQ 31: 41-47.
Jalaludin, S., Z.A Jelan, N. Abdullah and Y.W. HO. 1991. Recent Development in the Oil Palm By Product Based Ruminant Feeding System. MSAP, Penang, Malysia. pp. 35-44.
Jalaludin, S., Y.W. Ho, N. Abdullah, and H.Kudo. 1991. Strategies for animal improvement in Southeast Asia. InUtilization of Feed Resources in Relation to Utilization and Physiology of Ruminants in the Tropics. Trop. Agric. Res. Series 25: 67-76.
Kawamoto, H., M. Wan Zahari, N.I. Mohd Shukur, M.S. Mohd Ali, Y. Ismail, and S. Oshio. 2001. Palatability, digestibility and voluntary intake of processed oil palm fronds in cattle. JARQ 35(3): 195-200.
Liwang, T. 2003. Palm oil mill effluent management. Burotrop Bull. 19: 38.
Mathius, I-W., D. Sitompul, B.P. Manurung, dan Azmi. 2004a. Produk samping tanaman dan pengolahan kelapa sawit sebagai bahan pakan ternak sapi potong: Suatu tinjauan. hlm. 120-128. Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pemerintah Provinsi Bengkulu dan PT Agricinal.
Wan Zahari, M., O.B. Hassan, H.K. Wong, and J.B. Liang. 2003. Utilization of oil palm frond-based diets for beef cattle production in Malaysia. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 16(4): 625-634.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar