<<< Lembaga Kajian Ilmiah Mahasiswa >>>

::Wilujeung Sumping di Weblog LKIM UNAND Padang::. Semoga site gratisan ini bukan hanya menambah literatur-literatur dalam dunia kepenulisan, tetapi juga lebih khusus untuk menambah khazanah keilmuan science dan keislaman, karena di masa kebangkitan seperti sekarang ini (menurut sejarah islam) yang sebelumnya Islam di Andalusia (Spanyol) begitu kuat dan hebatnya, harus tunduk dan hancur oleh kaum Hulagu dari bangsa Bar-Bar, oleh karena itu kita pun di harapkan untuk selalu berkarya, baik melalui dunia kepenulisan, dunia jurnalistik maupun yang lainnya, karena memang tidak bisa kita pungkiri bahwa Islam khususnya yang ada di Indonesia ini sangat butuh dengan orang-orang yang profisional dalam bidangnya masing-masing. Nah...site ini pun tampil untuk menunjukkan bahwa kami ingin menambah khazanah keislaman dalam berkarya, walaupun hanya sebutir debu di padang pasir, tetapi akan sangat bermakna jika kita mendalaminya, Amin

Minggu, 24 Oktober 2010

Memanen Energi dari 'Waste Product'

http://www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/?ar_id=NzMwNA==, terbit 23 Mei 2010

Tema: Pengelolaan Sumber Daya Alam
Memanen Energi dari 'Waste Product'
Oleh : Agus Muhar (Mahasiswa Teknologi Hasil Ternak Fak Peternakan Unand, Padang)
Tanggal : Minggu, 23 Mei 2010

ENERGI merupakan isu yang sangat penting yang membutuhkan penanganan yang tepat. Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) 1 Juli 2008 yang melebihi 10% mengagetkan banyak orang dan mendapat reaksi penolakan dari masyarakat. Hal itu karena BBM merupakan kebutuhan vital masyarakat termasuk Sumatera Barat dan sangat terkait dengan kebutuhan lain seperti pangan, sandang dan seluruh kebutuhan hidup yang semuanya mempunyai hubungan proses produksi maupun distribusi. Cadangan minyak dunia dan juga Indonesia pada suatu waktu akan habis sehingga diperlukan kebijakan terpadu untuk dapat menjamin penyediaan energi secara cukup dan berkelanjutan. Dengan terbatasnya cadangan sumber daya fosil, perlu dimulai secara bertahap penggunaan energi alternatif selain minyak bumi.

Hal ini terlihat di Sumatera Barat yang memiliki banyak sumber energi di luar minyak bumi seperti sumber daya air sebagai pembangkit tenaga listrik dan sumberdaya mineral batubara yang penggunannya lebih banyak untuk keperluan industri dan ekspor. Namun potensi tersebut harus direncanakan, dikelola, dan dimanfaatkan secara optimal bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Disamping sumber energi diatas Sumatera Barat masih mempunyai potensi sumber energi alternatif seperti tenaga matahari, ombak/gelombang laut, angin, biomassa, biogas dan gambut yang prospek pengembangannya dimasa depan masih sangat besar. Sumber energi alternatif yang berasal dari bidang kehutanan, pertanian, perkebunan dan peternakan harus diusahakan secara luas karena bidang yang berbasis pertanian tersebut masih menjadi bidang unggulan terbesar dan merupakan bahan baku yang tersedia di Sumatera Barat sehingga dapat menjadi sumber energi alternatif di masa depan.

Pengolahan limbah ternak menjadi biogas merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi kelangkaan energi di masa yang akan datang dan sekaligus dapat mengatasi masalah pencemaran lingkungan, karena limbah ternak yang berasal dari peternakan apabila belum diolah secara maksimal akan berakibat pada pencemaran lingkungan dan penularan penyakit misalnya flu burung. Padahal kotoran ternak sebagai limbah peternakan masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial untuk mendorong kehidupan jasad renik secara anerob (bioteknologi) dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi (biogas).

Selain melalui air, limbah peternakan sering mencemari lingkungan secara biologis yaitu sebagai media untuk berkembang biaknya lalat. Kandungan air manure antara 27-86% merupakan media yang paling baik untuk pertumbuhan dan perkembangan larva lalat, sementara kandungan air manure 65-85 % merupakan media yang optimal untuk bertelur lalat. Selain itu juga kotoran yang menggunung akan terbawa oleh air masuk kedalam tanah atau sungai yang kemudian mencemari air tanah dan air sungai. Kotoran sapi mengandung racun dan bakteri Coli yang membahayakan kesehatan manusia dan lingkungannya karena ini dapat menjadi bioterrosisme. Oleh karena itu perlu penanganan yang serius untuk kotoran ternak ini dengan mengolahnya menjadi biogas yang mempunyai efek sampingan yang menguntungkan bagi kesehatan dan pendapatan masyarakat yaitu berupa pupuk organik padat dan cair yang murah dan ramah lingkungan sebagai pengganti pupuk kimia.

(Proses pemanfaatan waste product sebagai energi bio gas)

Biogas merupakan gas yang dihasilkan oleh aktifitas anaerobik atau fermentasi yang merupakan proses bioteknologi yang menggunakan mikroorganisme dalam prosesnya dari bahan-bahan organik termasuk diantaranya; kotoran manusia dan hewan, limbah domestik (rumah tangga), sampah biodegradable atau setiap limbah organik yang biodegradable dalam kondisi anaerobik. Kandungan utama dalam biogas adalah metana dan karbon dioksida. Biogas adalah gas yang mudah terbakar (flammable) yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob (bakteri yang hidup dalam kondisi kedap udara) dan CO2.

Keuntungan yang diperoleh dari program biogas sebagai berikut yaitu untuk pembuatan 1 digester biogas sebesar 3,5 m3 untuk limbah ternak 10 ekor sapi memerlukan biaya Rp9.950.000,- dan mempunyai daya pakai selama 30 tahun. Biaya pertahun sebesar Rp331,667.000,- sehingga biaya perbulan Rp27.667,- dan biaya perhari hanya Rp920,-. Bila sebelum menggunakan gas bio menggunakan minyak tanah 4 L/ hari dengan harga Rp3000,- / L untuk pasteurisasi dan pengolahan air susu maka keuntungan diperoleh sebesar Rp12.000,- s/d Rp920,- = Rp11.080,- ditambah lagi keuntungan sampingan dari pupuk organik yang mempunyai harga bersih Rp1000,- / kg dan produksi / hari 40 kg padat dan cair maka keuntungan dalam bentuk materi Rp51.080,- dan 1 bulan sebesar Rp1.502.400,- ditambah kehidupan yang sehat tidak ada polusi dan makanan tidak tercemar pestisida. Hal ini juga mempunyai dampak positif pada masyarakat karena tersedianya pangan organik dan mencifatakan kesejahteraan masyarakat.

Sumatera Barat sebagai sentral peternakan diSumatera memiliki potensi pengembangan biogas yang potensial. Populasi ternak yang dimiliki merupakan sumber energi alternatif yang sangat potensial sekali. Menurut database peternakan Sumatera Barat (BPS, 2005) bahwa pada tahun 2005 jumlah populasi ternak sapi potong 419.352 ekor, kerbau 201.583, sapi perah 714 ekor, ternak unggas 23.677.420. Bila seekor sapi dan kerbau menghasilkan feses 10 kg/hari, dan seekor unggas menghasilkan feses 100 gr/hari, maka total feses di Sumbar perharinya 8.584.232 kg atau 171.685 m3, setara 103.011.000 liter biogas, bila 1 liter biogas sama dengan 1,4 liter minyak tanah, maka setara dengan 144.215.400 liter minyak tanah. Apabila harga satu liter minyak tanah 2500/liter maka total rupiah yang dapat dihemat untuk energi perharinya 3.605.385.000.000 atau 3,6 triliun rupiah perharinya. Disamping itu sisa dari pembuatan biogas ini juga dapat diolah lebih lanjut menjadi pupuk cair dan pupuk padat yang mengandung nilai N 3,1 %.

Dalam situasi krisis ekonomi seperti ini masyarakat sangat perlu masukkan IPTEK salah satunya mengenai program pengembangan biogas, karena proses biogas sangat mudah, tapi belum terlaksana dengan baik di Sumatera Barat di bandingkan di daerah lain yang telah maju. Oleh karena itu para petani peternak Sumbar menghimbau pada pihak yang berwenang agar program biogas terlaksana karena dapat meningkatkan pengetahuan, pendapatan dan kesehatan dalam menyongsong era globalisasi dan setara secara nasional maupun internasional mengingat bahwa Sumbar mempunyai bandara Internasional yang memungkinkan aktifitas usaha berskala nasional / internasional dapat diwujudkan.(*)

Jadi Ikhwan Jangan Cengeng

Jadi Ikhwan jangan cengeng..
Dikasih amanah pura-pura batuk..
Nyebutin satu persatu kerjaan biar dikira sibuk..
Afwan ane sakit.. Afwan PR ane numpuk..
Afwan ane banyak kerjaan, kalo nggak selesai bisa dituntut..
Afwan ane ngurus anu ngurus itu jadinya suntuk..
Terus dakwah gimana? digebuk?

Jadi Ikhwan jangan cengeng..
Dikit-dikit dengerin lagunya edcoustic..
udah gitu yang nantikanku di batas waktu, bikin nyelekit..
Ke-GR-an tuh kalo ente melilit..
Kesehariannya malah jadi genit..
Jauh dari kaca jadi hal yang sulit..
Hati-hati kalo ditolak, bisa sakiiiittt…

Jadi Ikhwan jangan cengeng..
Dikit-dikit SMSan sama akhwat pake Paketan SMS biar murah..
Rencana awal cuma kirim Tausyiah..
Lama-lama nanya kabar ruhiyah.. sampe kabar orang rumah..
Terselip mikir rencana walimah?
Tapi nggak berani karena terlalu wah!
Akhirnya hubungan tanpa status aja dah!

Jadi Ikhwan jangan cengeng..
Abis nonton film palestina semangat membara..
Eh pas disuruh jadi mentor pergi entah kemana..
Semangat jadi penontonnya luar biasa..
Tapi nggak siap jadi pemainnya.. yang diartikan sama dengan hidup
sengsara..
Enak ya bisa milih-milih yang enaknya aja..

Jadi Ikhwan jangan cengeng..
Ngumpet-ngumpet buat pacaran..
Ketemuan di mol yang banyak taman..
Emang sih nggak pegangan tangan..
Cuma lirik-lirikkan dan makan bakso berduaan..
Oh romantisnya, dunia pun heran..
Kalo ketemu Murabbi atau binaan..
Mau taruh di mana tuh muka yang jerawatan?
Oh malunya sama Murabbi atau binaan?
Sama Allah? Nggak kepikiran..
Yang penting nyes nyes romantis semriwing asoy-asoy-yaannn. .

Jadi Ikhwan jangan cengeng..
Disuruh infaq cengar-cengir. .
Buat beli tabloid bola nggak pake mikir..
Dibilang kikir marah-marah dah tuh bibir..
Suruh tenang dan berdzikir..
Malah tangan yang ketar-ketir. .
Leher saudaranya mau dipelintir!

Jadi Ikhwan jangan cengeng..
Semangat dakwah ternyata bukan untuk amanah..
Malah nyari Aminah..
Aminah dapet, terus Walimah..
Dakwah pun hilang di hutan antah berantah..
Dakwah yang dulu kemanakah?
Dakwah kawin lari.. lari sama Aminah..
Duh duh… Amanah Aminah..
Dakwah.. dakwah..
Kalah sama Aminah..

Jadi Ikhwan jangan cengeng..
Buka facebook liatin foto akhwat..
Dicari yang mengkilat..
Kalo udah dapet ya tinggal sikat..
Jurus maut Ikhwan padahal gak jago silat..
“Assalammu’alaykum Ukhti, salam ukhuwah.. udah kuliah? Suka coklat?”
Disambut baik sama ukhti, mulai berpikir untuk traktir Es Krim Coklat ..
Akhwatnya terpikat..
Mau juga ditraktir secara cepat..
Asik, akhirnya bisa jg ikhtilat…
yaudah.. langsung TEMBAK CEPAT!
Akhwatnya mau-mau tapi malu bikin penat..
badan goyang-goyang kayak ulat..
Ikhwannya nyamperin dengan kata-kata yang memikat..
Kasusnya sih kebanyakan yang ‘gulat’..
Zina pun menjadi hal yang nikmat..
Udah pasti dapet laknat..
Duh.. maksiat.. maksiat…

Jadi Ikhwan jangan cengeng..
Ilmu nggak seberapa hebat..
Udah mengatai Ustadz..
Nyadar diri woi lu tuh lulusan pesantren kilat..
Baca qur’an tajwid masih perlu banyak ralat..
Lho kok udah berani nuduh ustadz..
Semoga tuh otaknya dikasih sehat..

Jadi Ikhwan jangan cengeng..
Status facebook tiap menit ganti..
Isinya tentang isi hati..
Buka-bukaan ngincer si wati..
Nunjukkin diri kalau lagi patah hati..
Minta komen buat dikuatin biar gak mati bunuh diri..
Duh duh.. status kok bikin ruhiyah mati..
Dikemanakan materi yang ustadz sampaikan tadi?

Jadi Ikhwan jangan cengeng..
Ngeliat ikhwan-ikhwan yang lain deket banget sama akhwat mau ikutan..
Hidup jadi kayak sendirian di tengah hutan rambutan..
Mau ikutan tapi udah tau kayak gitu nggak boleh.. tau dari pengajian..
Kepala cenat-cenut kebingungan. .
Oh kasihan.. Mendingan cacingan..

Jadi Ikhwan jangan cengeng..
Ngeliat pendakwah akhlaknya kayak preman..
Makin bingung nyari teladan..
Teladannya bukan lagi idaman..
Hidup jadi abu-abu kayak mendungnya awan..
Mau jadi putih nggak kuat nahan..
Ah biarlah kutumpahkan semua dengan cacian makian..
Akhirnya aku ikut-ikutan jadi preman..
Teladan pun sekarang ini susah ditemukan..

Jadi Ikhwan jangan cengeng..
Diajakain dauroh alasannya segudang..
Semangat cuma pas diajak ke warung padang..
Atau maen game bola sampe begadang..
Mata tidur pas ada lantunan tilawah yang mengundang..
Tapi mata kebuka lebar waktu nyicipin lauk rendang..
Duh.. berdendang…

Jadi Ikhwan jangan cengeng..
Bangga disebut ikhwan.. hati jadi wah..
Tapi jarang banget yang namanya tilawah..
Yang ada sering baca komik naruto di depan sawah..
Hidup sekarang jadinya agak mewah..
Hidup mewah emang sah..
Tapi.. kesederhanaan yang dulu berakhir sudah?

Jadi Ikhwan jangan cengeng..
Dulunya di dakwah banyak amanah..
Sekarang katanya berhenti sejenak untuk menyiapkan langkah..
Tapi entah kenapa berdiamnya jadi hilang arah..
Akhirnya timbul perasaan sudah pernah berdakwah..
Merasa lebih senior dan lebih mengerti tentang dakwah..
Anak baru dipandang dengan mata sebelah..
Akhirnya diam dalam singgasana kenangan dakwah..
Dari situ bilang.. Dadaaahhh.. Saya dulu lebih berat dalam dakwah..
Lanjutin perjuangan saya yah…

Jadi Ikhwan jangan cengeng..
Nggak punya duit jadinya nggak dateng Liqo..
Nggak ada motor yaa halaqoh boro-boro..
Murabbi ikhlas dibikin melongo..
Binaan nggak ada satupun yang ngasih info..
Ngeliat binaan malah pada nonton tv liat presenter homo..
Adapula yang tidur sambil meluk bantal guling bentuk si komo..

Oh noo…

Jadi Ikhwan jangan cengeng…
Jadi Ikhwan jangan cengeng…
Jadi Ikhwan jangan cengeng…
Jadi Ikhwan jangan cengeng…
Jadi Ikhwan jangan cengeng…

Sudah mbaca? Mungkin ada yang bingung karena banyak istilah yang asing, tapi pastinya ada pula yang langsung senyamsenyum karena merasa kesindir…biasanya tipe yang kedua inilah yang punya gelar ikhwan. Ada puisi balasankah?

Akhwat ada yang baca? Ada respon?

OPTIMALISASI PERAN AYAM KAMPUNG SEBAGAI “PABRIK” PROTEIN HEWANI UNTUK KETAHANAN PANGAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN DI PEDESAAN 1)

Dr. Rusfidra, S.Pt 2)
Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang
Kampus UNAND Limau Manis, Padang, 25163
Blog: http://rusfidra.multiply.com
e-mail: rusfidra_unand@yahoo.co.id


ABSTRACT

In Indonesia, indigenous poultry have been raised by rural communities for many generations. This custom is likely to continue and remain popular in rural areas. The rural poultry sistem relies on minimal input of resources. Although secondary to other agricultural activities, rural poultry rearing plays an important role in providing the population with substantial income and high quality protein. Village chickens in particular fulfill a wide range functions, -e.g. the provision of meat and eggs, food for special festivals, chickens for traditional ceremonies, pest control and petty cash. Eggs and meat are a source of high quality protein for sick and malnourished children under the age of live. Almost every rural family keep small flock of indigenous domestic fowl under backyard farming system. Although indigenous poultry are poor producers of eggs and meat, they are hard and thrive well in the harsh rural environment and some varieties have a superior genetic constitution which has not been fully explored. There is no systematic breeding programme and closed breeding occurs among indigenous stock. Chicken are probable the most universal and important of all domesticated animal species as producers of food human consumption. Village chickens play a significant role in household food security and poverty reduction in Indonesia villages.

Key word: rural poultry, food security, poverty reduction.

1). Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Ketahanan Pangan di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi tanggal 15 Desember 2007.
2). Staf Pengajar Fakultas Peternakan UNAND, Kampus Limau Manis, Padang, 25163.


I. PENDAHULUAN
“Negeri yang kaya ternak, tidak pernah miskin.
Negeri yang miskin ternak, tidak pernah kaya”.
(-- Pepatah Arab--- dalam Campbell dan Lasley, 1985)
1.1. Latar Belakang
Secara umum, persoalan kemiskinan, kelaparan dan malnutrisi merupakan persoalan global di negara-negara sedang berkembang. Kemiskinan dan malnutrisi merupakan masalah besar bangsa yang saling kait mengait. Belitan kemiskinan dan tingkat keterampilan yang rendah berdampak pada terbatasnya akses terhadap sumber pekerjaan yang berpenghasilan layak. Untuk kasus Indonesia, kemiskinan merupakan masalah pelik yang menjadi perhatian rezim penguasa. Namun, sayangnya program pengentasan kemiskinan yang ditawarkan pemerintah masih bersifat superfisial, instan dan belum menyentuh akar masalah penyebab kemiskinan. Belum lama pemerintah meluncurkan program bantuan langsung tunai (BLT), yakni dengan memberikan uang tunai sebanyak Rp. 300 ribu/3 bulan kepada 15,5 juta rumahtangga miskin. Fakta membuktikan, program BLT terbukti tidak berhasil menekan jumlah penduduk miskin, --malah jumlahnya makin bertambah--, namun ia “berhasil” membuat perilaku masyarakat miskin menjadi konsumtif.
Bahan pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi untuk hidup sehat, produktif, kreatif dan cerdas. Selain pangan nabati, manusia juga memerlukan bahan pangan hewani (daging, susu, telur dan madu) untuk kecerdasan, memelihara stamina tubuh, mempercepat regenerasi sel dan menjaga sel darah merah (eritrosit) agar tidak mudah pecah. Meskipun masyarakat menyadari pangan hewani sebagai kebutuhan primer, namun hingga kini konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia masih sangat rendah bila dibandingkan dengan sesama negara ASEAN, apalagi bila dibandingkan dengan negara-negara maju. Asupan protein hewani yang rendah berisiko terhadap munculnya kasus malnutrisi, gangguan pertumbuhan otak anak balita, meningkatnya risiko sakit, terganggunya perkembangan mental, menurunkan performa anak sekolah dan produktivitas tenaga kerja.
Dalam konteks ini, agaknya, ayam kampung dapat dikembangkan sebagai salah satu bentuk usaha keluarga yang bermanfaat. Ayam kampung dapat diusahakan untuk mengentaskan kemiskinan dan ketahanan pangan hewani keluarga. Selain menghasilkan pangan hewani (daging dan telur), ayam kampung merupakan aset biologis, sumber uang tunai, tabungan hidup dan pupuk organik. Ayam kampung merupakan “pabrik” protein hewani yang dapat dikembangkan di seluruh negeri.
1.2. Urgensi Masalah
Merebaknya kasus gizi buruk dan busung lapar pada anak-anak usia balita beberapa waktu lalu disebabkan oleh kurangnya asupan kalori-protein. Masa balita merupakan “periode emas” pertumbuhan anak manusia dimana sel-sel otak sedang berkembang dengan pesat. Dalam periode ini protein hewani sangat dibutuhkan agar otak berkembang optimal. Oleh sebab itu, agaknya, diperlukan program penyediaan sumber protein hewani yang murah, mudah tersedia, terjangkau dan bergizi tinggi pada tingkat rumahtangga. Dalam konteks ini, hemat penulis, program “Family Poultry” (FP) berbasis ayam kampung layak dipertimbangkan sebagai sebuah solusi mengatasi malnutrisi, efektif dalam pengentasan kemiskinan, menjaga ketahanan pangan pada tingkat rumahtangga dan sebagai sumber pendapatan keluarga miskin. Tujuan FP adalah mewujudkan ketahanan pangan pada tingkat rumahtangga dan sebagai sumber uang tunai bagi keluarga miskin dan sangat miskin (Rusfidra, 2007a,d, 2006a).

II. METODA
Makalah ini dimaksudkan sebagai “road map” bagi pengambil kebijakan dalam upaya mengatasi masalah malnutrisi dan pengentasan kemiskinan secara sistematis dan berkelanjutan pada tingkat rumahtangga. Penulis mengusulkan program “Family Poultry” sebagai sumber protein hewani, sumber pendapatan dan pengentasan kemiskinan di perdesaan. Pada bagian akhir diusulkan model program FP berbasis pada ayam kampung yang dapat dikembangkan di Indonesia.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Revolusi Peternakan
Istilah Revolusi Peternakan pertama kali diperkenalkan oleh Delgado et. al. 1999. Di dalam artikel “Peternakan 2020: Revolusi Pangan Masa Depan” mereka memprediksikan akan terjadi peningkatan produksi dan konsumsi bahan pangan hewani di masa depan. Konsumsi daging penduduk dunia akan meningkat dari 233 juta ton (pada tahun 2000) menjadi 300 juta ton (pada tahun 2020). Konsumsi susu meningkat dari 568 juta ton (pada tahun 2000) menjadi 700 juta ton (pada tahun 2020), sedangkan konsumsi telur pada tahun 2020 akan mencapai 55 juta ton (www.ifpri.org). Peningkatan konsumsi bahan pangan hewani tersebut disebabkan oleh karena bertambahnya jumlah penduduk dunia, meningkatnya kesejahteranaan penduduk dunia dan meningkatnya kesadaran gizi masyarakat. Jumlah penduduk dunia yang pada tahun 2000 baru berjumlah 6 milyar orang akan melonjak menjadi 7,5 milyar orang pada tahun 2025.
Begitupun di Indonesia, untuk mengantisipasi kondisi tersebut, pemerintah Indonesia meresponnya dengan meluncurkan Program Revitalisasi Pertanian, ---termasuk revitalisasi peternakan---. Ketika mencanangkan Program Revitalisasi Pertanian pada tanggal 11 Juni 2005, Presiden SBY menyebutkan empat kebijakan yang penting dilakukan, yaitu kebijakan umum pertanahan dan tata ruang, pembangunan infrastruktur pedesaan, ketahanan pangan dan perdagangan produk pertanian. Tujuan revitalisasi pertanian adalah mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran serta meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi nasional (Kompas, 8/6/2005).
Secara definisi, revitalisasi pertanian adalah penguatan kembali sektor pertanian dan membangun komitmen untuk menjadikan sektor pertanian sebagai sektor penting bagi tulang punggung perekonomian nasional. Hal ini karena sektor pertanian mampu menyediakan bahan pangan, dan juga telah terbukti bahwa sektor pertanian merupakan penyerap tenaga kerja terbesar di negeri ini, dimana hampir 50% tenaga kerja pada usia produktif bekerja di sektor pertanian. Karena itu, revitalisasi pertanian yang akan dilakukan tentu harus menyentuh bidang peternakan, perkebunan dan hortikultura, selain bidang tanaman pangan. Sebagai contoh, produk perkebunan Indonesia seperti karet, kakao dan kelapa sawit memiliki harga jual cukup baik di pasar internasional (Rusfidra, 2005a).
Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya bahan pangan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman dikonsumsi, merata, dan terjangkau untuk hidup pokok. Konsep ketahanan pangan (food security) biasanya diukur dalam dua tataran, yakni makro (nasional) dan mikro (rumahtangga). Konsep ketahanan pangan pada tataran makro cenderung bias karena adanya disparitas pendapatan yang cukup lebar kelompok masyarakat berpendapatan rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Ketahanan pangan yang ideal adalah ketahanan pangan pada tingkat rumahtangga. Ketahanan pangan di tingkat rumahtangga mempunyai prespektif pembangunan sangat mendasar karena: 1) akses pangan dan gizi seimbang bagi seluruh rakyat merupakan hak asasi, 2) pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas sangat dipengaruhi oleh keberhasilan memenuhi kecukupan pangan dan gizi, 3) ketahanan pangan merupakan unsur strategis dalam pembangunan ekonomi dan ketahanan nasional (Rusfidra, 2005a).
Dengan jumlah penduduk lebih dari 220 juta dan masih terus bertambah 1,3% setiap tahun, sudah selayaknya Indonesia mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan secara berkelanjutan. Ada tiga dimensi yang secara implisit terkandung di dalam ketahanan pangan, yaitu ketersediaan pangan (food availability), stabilitas pangan (food stability) dan keterjangkauan pangan (food accessibility). Namun fakta yang ada cukup mencemaskan karena ketersediaan pangan secara nasional masih sangat kurang. Indikasi tersebut dapat dilihat pada masih tingginya volume impor beberapa komoditas pangan strategis, seperti beras (sekitar 1,5 juta ton), jagung (lebih dari 500 ribu ton), bungkil kedelai (hampir 100%), gandum (100%), susu (70%) (Diwyanto dan Priyanti, 2007). Selain itu, negeri tropis ini juga mengimpor daging sapi (30 ribu ton) dan sapi hidup sekitar 450 ribu ekor setiap tahunnya (Rusfidra, 2007c).
Industri ayam ras yang tumbuh pesat sejak tahun 1980-an telah berkontribusi menyediakan daging dan telur untuk konsumsi masyarakat. Namun sayangnya dalam perkembangannya, industri ayam ras sangat tergantung pada komponen impor, terutama ayam bibit (grand parent stock, GPS dan parent stock, PS), bahan pakan (bungkil kedelai, jagung, dan tepung ikan), serta bahan baku obat dan vaksin (Diwyanto dan Priyanti, 2007).
Meskipun upaya-upaya efisiensi telah mulai dilakukan, namun peternak dalam negeri tetap belum bisa mengimbangi usaha perunggasan negara Amerika Serikat. Sebagai contoh, untuk menghasilkan 1 kg daging ayam, peternak Indoensia menghabiskan biaya sebesar Rp. 11.000, sedangkan peternak di AS hanya menghabiskan Rp. 3.500 untuk bobot 1 kg daging paha ayam. Hasil studi INDEF (Kompas, 24/4/2002) memperlihatkan bahwa tingkat keuntungan terbesar (68- 72%) diraih oleh pengusaha pabrik pakan, sedangkan peternak unggas hanya meraih sedikit keuntungan, yaitu 31% pada usaha ayam ras petelur dan 3% pada usaha ayam pedaging (lihat Tabel 8). Dapat disimpulkan bahwa penggunaan pakan komersil dalam usaha ayam ras pedaging tampaknya tidak begitu ekonomis, dan hanya sedikit keuntungan yang dapat diraih peternak. Karena itu sudah masanya mulai dikembangkan pemanfaatan bahan pakan berbasis sumber daya pakan lokal sebagai bahan pakan unggas.
Tabel 1. Persentase distribusi keuntungan dalam industri ayam ras.
Pelaku Usaha Ras Petelur Ras Pedaging
Pabrik pakan ternak 68 72
Pembibit 1 25
Peternak kecil 31 3
Jumlah 100 100
Sumber: INDEF (Kompas, 24/4/2002)
Perkembangan industri ayam ras yang bertumpu pada inovasi impor, ke depan harus diupayakan untuk lebih mandiri dan handal. Pada saat wabah flu burung merebak di beberapa negara pemasok bibit (Grand Parent Stock, GPS), Indonesia kesulitan untuk memperoleh replacement. Demikian pula halnya dengan pasokan bahan pakan, ketergantungan pada kedelai dan jagung impor juga potensial mengancam kelangsungan pabrik pakan unggas di dalam negeri sebagai industri pendukung peternakan ayam ras. Apalagi negara Amerika Serikat sebagai produsen utama jagung dunia akan menggunakan 30% jagungnya untuk mengembangkan industri bioethanol, sehingga jagung menjadi langka dan sangat mahal. Sebagai misal, menurut Dwiyanto dan Priyanti (2007) harga jagung di pasar dunia pada awal tahun 2007 hanya 135 USD/ton, namun pada bulan Oktober 2007 harganya telah meningkat dua kali lipat menjadi 270 USD/ton. Harga jagung di dalam negeri juga meningkat dari Rp. 1000/kg (2006) menjadi Rp. 2.400-2.600/kg (2007). Kondisi tersebut menyebabkan dampak berantai, harga pakan terus naik dan biaya produksi ayam meningkat, dan pada gilirannya tingkat keuntungan yang diraih peternak menjadi berkurang, karena harga jual daging ayam di pasar cenderung tetap.
Saat ini harga sebutir telur setara dengan harga sebatang rokok (Diwyanto dan Priyanti, 2007), namun rata-rata konsumsi telur di Indonesia baru sekitar 46 butir/kapita/tahun. Tingkat konsumsi yang rendah bukan semata-mata karena daya beli yang rendah, namun juga karena minimnya sosialisasi pentingnya mengkonsumsi daging, telur dan susu ke masyarakat untuk meningkat kesadaran masyarakat mengenai manfaat telur bagi kesehatan dan pertumbuhan anak sangat rendah. Fakta yang lebih ironis, masyarakat justru didorong “membakar” uang untuk mengkonsumsi rokok (1000 batang/kapita/tahun), --- yang justru berpotensi merusak kesehatan---, melalui promosi komersial produsen rokok.
Tantangan lain yang harus diperhatikan adalah ketergantungan pada bibit impor yang notabene berasal dari daerah temperate yang berhawa sejuk. Bibit ternak yang bagus di negara asalnya belum tentu mampu berproduksi maksimal di lingkungan tropis yang lembab karena adanya faktor interaksi genetik-lingkungan (IGL). Kondisi ini diperburuk dengan adanya indikasi akan terjadi suhu permukaan global, sejalan dengan kenaikan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) yang pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya perubahan iklim.
Ayam kampung yang dipelihara hampir seluruh masyarakat di pedesaan cenderung berkembang lambat. Kini terdapat sekitar 31 galur ayam kampung yang sangat potensial sebagai produsen daging dan telur. Fakta terbaru juga membuktikan bahwa ayam kampung lebih resisten terhadap penyakit flu burung dibandingkan ayam ras. Dengan demikian perkembangan industri perunggasan ke depan, tidak sepenuhnya hanya bergantung pada inovasi teknologi dan bibit impor.
3.2. Kondisi Terkini Produksi Ayam Kampung Di Indonesia
Ayam kampung merupakan ayam yang banyak dipelihara masyarakat pedesaan. Ayam ini umumnya ditemukan hidup dan berkembang di kampung-kampung, tempat dimana manusia bermukim. Itu sebabnya ayam ini dinamakan ayam kampung (village chicken, rural poultry). Manusia telah melakukan domestikasi dari ayam hutan liar dalam waktu yang lama. Relasi antara manusia dan ayam kampung bersifat mutual interaksi. Manusia memperoleh daging, telur dan uang tunai dari ayam kampung, sedangkan ayam kampung mendapatkan pakan dari sisa makanan manusia dan kandang untuk tinggal.
Kini diduga sekitar 300 juta ayam kampung tersebar dari perkotaan sampai pelosok negeri. Bila satu rumahtangga pedesaan memelihara 15 ekor ayam kampung, maka setidaknya terdapat 20 juta rumahtangga yang memelihara ayam kampung. Bila diasumsikan seekor ayam kampung memiliki nilai ekonomi Rp. 25.000., maka total nilainya adalah 7,5 trilyun. Ayam kampung berperan penting sebagai sumber pendapatan keluarga, sumber pangan hewani (daging dan telur), untuk kesenangan (hias, penyanyi, aduan), aset biologis (plasma nutfah), aset religius dan digunakan dalam ritual pengobatan.
Ayam kampung yang menjadi korban wabah flu burung misalnya, berpotensi musnah karena penyakit flu burung yang terbawa ayam ras dari luar negeri. Ternak yang tidak resisten terhadap flu burung, mati karena penyakit, sementara ayam yang resisten habis karena “dimusnahkan oleh kebijakan yang tidak bijaksana”. Tindakan “pemusnahan” ayam kampung di beberapa daerah dengan alasan mencegah penularan flu burung adalah kontraproduktif dan dapat mengganggu kestabilan ekonomi rumahtangga petani dan ketahanan pangan hewani rumahtangga. Disamping itu, Indonesia akan kehilangan plasma nutfah ayam kampung yang memiliki keunggulan spesifik.
Meskipun populasinya cukup besar, namun cara pengelolaan ayam kampung masih bersifat tradisional (100 persen). Ayam mencari makanan disekitar rumah seperti cacing tanah, limbah rumahtangga, serangga dan limbah pertanian. Jumlah pemilikan ayam skala kecil. Rataan jumlah ayam petelur 10-15 ekor/rumahtangga dapat menyuplai daging dan telur sebagai sumber pangan hewani.
Tabel 2. Populasi Ternak Unggas Indonesia tahun 1969-2000 (x 000 ekor)
(Ditjen Bina Produksi Peternakan, 2001)

No Tahun Ayam Kampung Ayam Ras Petelur Ayam Ras Pedaging Itik
1 1969 61.788 688 - 7.269
2 1974 98.650 3.450 - 13.620
3 1979 114.350 7.007 - 18.689
4 1984 166.815 29.559 110.580 24.694
5 1989 191.433 40.452 262.918 24.135
6 1994 243.261 63.334 622.965 27.536
7 1995 250.080 68.897 689.467 29.616
8 1996 260.713 78.706 755.956 29.959
9 1997 260.835 70.623 641.374 30.320
10 1998 253.133 38.861 354.004 25.950
11 1999 252.653 45.531 324.347 27.552
12 2000 259.257 69.366 530.874 29.035

Sebanyak 15 ekor ayam dewasa dapat menghasilkan 1,0-1,2 kg kotoran per hari (Aini, 1990) yang bermanfaat sebagai pupuk kandang untuk buah dan sayur di pekarangan rumah. Pada sistem produksi pedesaan, kaum perempuan memainkan peranan penting dalam pemeliharaan ayam kampung. Kegiatan memberi makan, menjual ayam, keputusan menjual ayam, keputusan vaksinasi, keputusan memotong dan mengkonsumsi daging dan telur biasanya ada pada kaum wanita. Atteh (1989) menyatakan bahwa di pedesaan Nigeria pemeliharaan ayam kampung menjadi tanggungjawab wanita (86%) dan pria (14%).
Ayam kampung merupakan salah satu bangsa ayam lokal yang populer dipelihara masyarakat diseluruh pelosok negeri. Pertumbuhan populasi unggas di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Selama periode tahun 1969-2000 pertumbuhan populasi ayam kampung relatif stabil. Ketika terjadi krisis ekonomi pertengahan tahun 1997, populasi ayam ras pedaging dan petelur mengalami penurunan yang tajam. Tidak kurang 50-60 persen peternak ayam saat itu mengalami kebangkrutan karena kesulitan meneruskan usahanya akibat mahalnya harga pakan dan bibit ayam. Pada saat tersebut ayam kampung mampu menjadi penyelamat perunggasan nasional (Rusfidra, 2007d).
3. 3. Potensi Produksi Ayam Kampung
Menurut Chen et al. (1993), ayam kampung memiliki keunggulan dalam hal resistensi terhadap penyakit, resistensi terhadap panas serta memiliki kualitas daging dan telur yang lebih baik dibandingkan dengan ayam ras. Indonesia memiliki sekitar 32 galur ayam kampung, diantaranya ayam pelung, ayam bekisar, ayam kokok balenggek, ayam nunukan, ayam merawang, ayam sentul dan lain sebagainya. Ayam-ayam tersebut merupakan plasma nutfah yang potensial dikembangkan sebagai penghasil telur dan daging.
Secara umum, ternak memiliki peran yang sangat signifikan dalam kehidupan dan vitalitas masyarakat dipedesaan (Hogberg et. al. 2005). Selain menyediakan daging dan telur untuk konsumsi, ayam ini juga dipelihara untuk menghasilkan uang tunai, memiliki nilai penting dalam aktivitas sosial (misalnya pesta jamuan untuk menghormati tamu dan untuk hadiah) dan untuk upacara keagamaan (ibadah kurban) (Yami, 1995). Studi yang dilakukan Atteh (1989) memperlihatkan bahwa tujuan pemeliharaan ayam kampung adalah: untuk mendapatkan uang tunai (11%), konsumsi sendiri (28%), untuk pendapatan dan konsumsi (45%), upacara keagamaan (3%), pendapatan dan upacara keagamaan (11%), upacara keagamaan dan konsumsi (3%) dan untuk ornamental (hiasan) (1%). Sistem produksi ayam kampung dan beberapa faktor terkait dapat dilihat pada Gambar 1.


Gambar 1. Sistem produksi ayam kampung dan beberara faktor terkait (Riise et. al. 2005 dalam Rusfidra, 2007d).

Pada umumnya, ayam kampung dipelihara oleh petani pedesaan dengan sistem ekstensif tradisional. Sepanjang waktu, ayam kampung dibiarkan bebas berkeliaran dan malam hari biasanya ternak pulang kekandang yang dibuat seadanya. Kandang biasanya terbuat dari bahan sederhana yang terdapat disekitar kampung dan mudah didapat dengan harga murah. Dinding kandang terbuat dari bambu, lantai dari kayu atau tanah dan atap dari daun palem atau jerami. Tempat makan dan air minum (jika tersedia) terbuat dari pot plastik atau tabung alumunium. Makanan biasanya diberikan satu-dua kali sehari pada pagi dan malam hari. Tipe peternakan yang diterapkan dalam produksi ternak di Indonesia adalah sistem pekarangan (backyard). Sistem pemeliharaan ayam kampung secara tradisional atau sistem pedesaan sangat populer di pedesaan (Gueye, 1998).
Terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas ayam kampung, antara lain melalui perbaikan mutu genetik (seleksi dan persilangan), perbaikan mutu pakan, perbaikan manajemen pemeliharaan, pencegahan penyakit (terutama penyakit ND), perbaikan kelembagaan penyuluhan, dan jaminan pasar. Perbaikan manajemen pemeliharaan dari pola ekstensif menjadi semi intensif dan intensif terbukti dapat meningkatkan produktivitas ayam kampung (lihat Tabel 3).
Tabel 3. Performans ayam kampung pada tiga pola pemeliharaan (Diwyanto et. al. 1996)
No. Sifat Pola Pemeliharaan
Ekstensif Semi intensif Intensif
1. Produksi telur/ekor/tahun 47 59 146
2. Produksi telur (%) 13 29 40
3. Frekuensi bertelur (kali/thn) 3 6 7
4. Daya tetas telur (%) 74 79 84
5. Bobot telur (%) 39-48 39-48 39-43
6. Konsumsi ransum/hr (g) < 60 60-68 80-100 7. Konversi ransum > 10 8-10 4,9-6,4
8. Mortalitas < 6 mgg (%) 50-56 34-42 ---
3.4. Status Kepemilikan Ayam Kampung
Pada sistem produksi pedesaan, kaum perempuan memainkan peranan penting dalam pemeliharaan ayam kampung, karena banyak pekerjaan yang bisa dilakukan oleh kaum perempuan seperti memberi makan, menjual ayam, pengambil keputusan penjualan ayam, pengambil keputusan melakukan vaksinasi, pengambil keputusan untuk memtong ayam, mengkonsumsi daging dan telur (Alders dan Spradbrow, 2001). Aktivitas tersebut dimungkinkan karena dalam pemeliharaan ayam kampung tidak dibutuhkan tenaga yang kuat dan dapat dijadikan sebagai usaha sampingan kaum wanita.
Studi yang dilakukan Atteh (1989) memperlihatkan bahwa di pedesaan Nigeria pemeliharaan ayam kampung menjadi tanggungjawab wanita (86%) dan pria (14%). Pola pemilik ayam kampung di Gambia: wanita (47%), keluarga (38%), pria (12%) dan wanita dan anak-anaknya (3%). Data tersebut di atas membuktikan bahwa pemilikan dan pemeliharaan ayam kampung di pedesaan umumnya dilakukan oleh kaum wanita dan dibantu anak-anaknya.
3.5. Tantangan Penyediaan Protein Hewani
Hingga kini ternak domestik belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi produk peternakan. Hal ini merupakan tantangan besar dalam penyediaan bahan pangan hewani sebagai sumber protein yang dibutuhkan oleh masyarakat. Saat ini konsumsi protein hewani penduduk Indonesia masih sangat rendah yakni 4,5 gram/kapita/hari, sementara konsumsi protein hewani masyarakat dunia adalah 26 gram/kapita/hari (Tuminga et.al. 1999 dalam Rusfidra, 2007d).
Merebaknya kasus gizi buruk (malnutrisi) dan busung lapar pada anak-anak usia bawah lima tahun (balita) beberapa waktu lalu sangat merisaukan kita sebagai bangsa. Masa balita merupakan “periode emas (the golden age)” pertumbuhan anak manusia dimana sel-sel otak sedang berkembang dengan pesat. Dalam periode ini protein hewani sangat dibutuhkan agar otak berkembang secara optimal, tidak sampai tulalit, (Nadesul, Kompas 9/7/05). Anak balita yang kurang gizi menyebabkan pertumbuhan sel-sel otaknya kurang berkembang dengan baik, sehingga bila otaknya discan maka akan terlihat seperti “otak kosong”, sedangkan anak balita yang mengkonsumsi gizi yang cukup dalam masa pertumbuhannya, maka hasil scaning otaknya menunjukkan profil “otak berisi” (Paturusi, 2007).
Selain itu, agaknya, diperlukan program penyediaan sumber protein hewani yang murah, mudah tersedia, terjangkau dan bergizi tinggi pada tingkat rumahtangga. Dalam konteks ini, program “Family Poultry” layak ditimbang sebagai sebuah solusi mengatasi terjadinya malnutrisi, efektif dalam pengentasan kemiskinan, menjaga ketahanan pangan pada tingkat rumahtangga dan sebagai sumber pendapatan (Rusfidra, 2005a, Rusfidra, 2005c, Rusfidra, 2005d).
Meskipun masyarakat menyadari pangan hewani sebagai kebutuhan primer namun hingga kini konsumsi protein hewani penduduk Indonesia sangat rendah. Pada tahun 2000, konsumsi daging unggas penduduk Indonesia hanya 3,5 kg/kapita/tahun, sedangkan konsumsi penduduk Malaysia (36,7 kg), Thailand (13,5 kg), Fhilipina (7,6 kg), Vietnam (4,6 kg) dan Myanmar (4,2 kg) (Poultry International, 2003 dalam Rusfidra, 2007d). Konsumsi daging unggas penduduk Indonesia hanya 10 gram/kapita/hari, sedangkan Malaysia 100 gram/kapita/hari.
Konsumsi telur penduduk Indonesia juga rendah, yakni 2,7 kg/kapita/tahun, sedangkan Malaysia 14,4 kg, Thailand 9,9 kg dan Fhilipina 6,2 kg. Bila satu kilogram telur rata-rata terdiri atas 17 butir, maka konsumsi telur penduduk Indonesia sekitar 46 butir/kapita/tahun atau 1/8 butir/kapita/hari. Pada periode yang sama, penduduk Malaysia setiap tahunnya memakan 245 butir telur atau 2/3 butir telur/kapita/hari.
Konsumsi protein hewani atau produk peternakan (daging, telur dan susu), secara cita rasa dan fungsionalnya amat berbeda dengan produk tanaman pangan sumber karbohidrat seperti ubi-ubian, beras dan jagung. Permintaan terhadap produk tanaman pangan pada umumnya bersifat inferior, yang tingkat konsumsinya akan menurun seiring dengan peningkatan pendapatan konsumen, sedangkan permintaan terhadap produk peternakan cenderung bersifat ‘mewah’, yang meningkat cepat atau bahkan lebih cepat dari laju peningkatan pendapatan konsumen. Ada kecenderungan peningkatan pendapatan diikuti dengan meningkatnya konsumsi pangan hewani.
Analisis paling akhir oleh Prof. I.K Han, guru besar Ilmu Produksi Ternak Universitas Nasional Seoul (1999) menyatakan adanya kaitan positif antara tingkat konsumsi protein hewani dengan umur harapan hidup (UHH) dan pendapatan perkapita. Semakin tinggi konsumsi protein hewani penduduk semakin tinggi umur harapan hidup dan pendapatan domestik brutto (PDB) suatu negara. Negara-negara berkembang seperti Korea, Brazil, China, Fhilipina dan Afrika Selatan memiliki konsumsi protein hewani 20-40 gram/kapita/hari, UHH penduduknya berkisar 65-75 tahun. Negara-negara maju seperti AS, Prancis, Jepang, Kanada dan Inggris konsumsi protein hewani masyarakatnya 50-80 gram/kapita/hari, UHH penduduknya 75-85 tahun. Sementara itu, negara-negara yang konsumsi protein hewani di bawah 10 gram/kapita/hari seperti Banglades, India dan Indonesia, UHH penduduknya hanya berkisar 55-65 tahun (Han, 1999).
3.5. Produksi “Family Poultry”
“Family Poultry” (FP) merupakan program Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) untuk mendukung tersedianya sumber protein hewani, sumber pendapatan dan pengentasan kemiskinan di negara-negara berkembang. Program ini dikembangkan di negara-negara sub-Sahara Afrika, Asia Tenggara, Asia Selatan dan Amerika Selatan dengan menjadikan ayam kampung sebagai sumber protein hewani dan pendapatan keluarga. Tujuan FP adalah mewujudkan ketahanan pangan pada tingkat rumahtangga dan sebagai sumber uang tunai bagi keluarga miskin dan sangat miskin. Olukosi (2005) dalam Rusfidra (2007c,d) menyimpulkan bahwa FP merupakan sebuah piranti (tool) dalam pengentasan kemiskinan.
Dengan melihat keberhasilan program FP di beberapa negara berkembang, penulis menduga bahwa program ini layak dikembangkan di Indonesia. Jenis ternak yang akan menjadi basis pengembangan program FP adalah ayam kampung (Rusfidra, 2005a,c, 2006, 2007). Ayam kampung banyak dipelihara masyarakat di perdesaan. Pada tahun 1997 terdapat 270,7 juta ekor ayam kampung (Ditjen Peternakan, 1997) yang tersebar diseluruh negeri. Daging dan telurnya sangat digemari masyarakat karena bergizi tinggi, gurih, dan digemari konsumen. Model sistem produksi “Family Poultry” berbasis 10 ekor ayam kampung ditampilkan pada Gambar 2.
Menurut Aini (1990), pemeliharaan ayam kampung petelur sebanyak 10-15 ekor per rumahtangga dapat menyuplai daging dan telur sebagai bahan pangan sumber protein hewani anggota keluarga. Untuk kasus Indonesia, penulis menyarankan FP dikembangkan dengan populasi dasar 10 ekor ayam betina dan 1 ekor jantan. Bila setiap induk menghasilkan telur rata-rata 50 butir/ekor/tahun (ini adalah asumsi produksi rendah), maka dalam satu tahun dihasilkan 500 butir telur. Adapun rasio pemanfaatan telur adalah sebagai berikut: 250 telur ditetaskan (50%), 150 telur dikonsumsi (sumber protein hewani) (30%) dan 100 telur dijual (20%).
Bila diasumsikan daya tetas sebesar 80% maka didapatkan 200 ekor anak ayam umur sehari (DOC, day old chick). Bila angka mortalitas 40% pada ayam umur di bawah delapan minggu dan 16% pada ayam dara (di atas delapan minggu), maka didapatkan 96 ekor ayam dara. Sebanyak 24 ekor ayam dipotong untuk dimakan, 24 ekor dijual dan 48 ekor akan dijadikan induk (breed stock). Ini berarti dalam waktu satu tahun untuk setiap 10 ekor induk akan menghasilkan 48 ekor ayam betina calon induk baru per tahun, sehingga total jumlah induk betina adalah 58 ekor, meningkat 5,8 kali dari populasi dasar. Selain itu, petani juga mendapatkan uang tunai sebanyak Rp. 670.000, mengkonsumsi 150 butir telur dan 24 ekor ayam pada tahun pertama, dan meningkat 5,8 kali pada tahun berikutnya.


















Gambar 2. Model sistem “Family Poultry” berbasis 10 ekor ayam kampung
untuk mengatasi gizi buruk dan pengentasan kemiskinan (Rusfidra, 2005a,c, 2007a,d)

Bila ayam kampung dipelihara dengan baik, maka ayam tersebut akan memainkan peranan penting sebagai sumber protein hewani (daging dan telur) dan sebagai sumber pendapatan bagi rumahtangga miskin, sehingga kasus malnutrisi dapat diatasi secara sistematis. Oleh karena itu, program FP layak ditimbang sebagai sebuah solusi praktis dalam mengatasi kasus gizi buruk, efektif dalam pengentasan kemiskinan dan menjaga ketahanan pangan pada tingkat rumahtangga bagi 15,5 juta rumahtangga miskin di Indonesia (Rusfidra, 2005a, 2007d).
IV. PENUTUP
4.1. Simpulan
Dari paparan terdahulu dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Ayam kampung dapat diusahakan untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat dan sebagai “pabrik” protein hewani untuk ketahanan pangan hewani rumah tangga di pedesaan. Selain menghasilkan daging dan telur, ayam kampung merupakan aset biologis (plasma nutfah), sumber pendapatan, tabungan hidup (bio investasi) dan sumber pupuk organik.
2. Pengembangan “Family Poultry” berbasis ayam kampung, agaknya, dapat dilakukan untuk mendukung tersedianya protein hewani, sumber pendapatan dan pengentasan kemiskinan.
4.2. Rekomendasi
Ayam kampung layak dipertimbangkan sebagai solusi dalam penyediaan protein hewani (asal ternak), sebagai sumber pendapatan dan pengentasan kemiskinan masyarakat di pedesaan.
DAFTAR PUSTAKA

Aini, I. 1990. Indigenous poultry production in South East Asia. World Poult. Sci. 46: 51-57.
Alders, R and P. Spadbrow. 2001. Controling Newcastle Desease in Village Chickens: A Field Manual. Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR). ACIAR Monograph No 82.
Atteh, J. O. 1989. Rural poultry production in Western Middle Belt Regoin of Nigeria. In: Proceeding of an International Workshop on Rural Poultry Development in Africa. (Sonaiya, E.B., Ed.), Ile-Ife Nigeria, pp. 211-220
Campbell, J. R, and Lasley, J. F. 1985. The Science of Animals that Serve Humanity. Ed. 3rd . McGraww-Hill Publication in the Agricultural Science.
Chen. C. F., Y. P. Lee., Z. H. Lee., S. Y. Huang and H. H. Huang. 1993. Heritability and genetic correlations of egg quality traits in Taiwan’s local chickens. AJAS, 6 (3): 433-440.
Delgado, C., M. Rosegrant, H. Steinfeld. S. Ehui and C. Courbois. 1999. Livestock 2020: The next food revolution. www.ifpri.org/2020/briefs/number61.html
Diwyanto, K dan A. Priyanti. 2007. Pengembangan industri peternakan berbasis sumber daya lokal. Makalah pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) IX. Jakarta: LIPI dan Ditjen Dikti Depdiknas, 20-22 November 2007.
Diwyanto, K, D. Zainuddin, T. Sartika, S. Rahayu, Djufri, C. Arifin dan Cholil. 1996. Model pengembangan peternakan rakyat terpadu berorientasi agribisnis. Komoditi ternak ayam kampung. Jakarta: Laporan Ditjen Peternakan bekerjsama dengan Balai Penelitian Ternak.
Direktorat Jendral Bina Produksi Peternakan. 2001. Buku Statistik Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.
Gueye, E.H. F. 1998. Village egg and fowl meat production in Africa. World Poult. Sci. Journal. 54: 73-86
Han, I. K. 1999. Role of animal agriculture for the quality of human life in the 21st century. Asian-Aus. J. Anim. Sci. 12 (5): 815-836.
Hogberg, M. G., S. L. Falest., F. L. Kirschenmann., M. S. Honeyman., J. A. Miranowski, and P. Lasley. 2005. Interrelationships of animal agriculture, the environment, and rural communities. J. Anim. Sci. 83 (E. Suppl.): E13-E17.
Paturusi, I. A. 2007. Kontribusi ilmu pengetahuan dalam pengembangan Kawasan Timur Indonesia. Makalah dipresentasikan pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) IX. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia – Ditjen Pendidikan Tinggi Depdiknas. 20-22 November 2007.
Rusfidra. 2007a. Paradigma Baru Pembangunan Peternakan; Membangun Peternakan Bertumpu Ternak Lokal. Bogor: CENDEKIA Publishing House.
Rusfidra. 2007b. Ternak dan Pengentasan Kemiskinan. Bogor: CENDEKIA Publishing House.
Rusfidra. 2007c. Pengembangan peternakan di kawasan pesisir. Makalah dipresentasikan pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) IX. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia – Ditjen Pendidikan Tinggi Depdiknas. 20-22 November 2007.
Rusfidra. 2007d. Rural poultry keeping in Indonesia to household food security and poverty alleviation. Prosiding Seminar Nasional PERSADA ke-13. Bogor: Perhimpunan Alumni dari Jepang (PERSADA) – FKH IPB. 9 Agustus 2007.
Rusfidra. 2007e. Pengembangan model “Family Poultry” berbasis ayam kampung untuk pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan hewani dan kecerdasan SDM. Prosiding SEMIRATA BKS PTN-Barat tahun 2007. Faperta UNRI, Pekanbaru, 23-26 Juli 2007.
Rusfidra. 2007f. Ayam kampung diambang kepunahan? Artikel www.cimbuak.net (6 Februari 2007)
Rusfidra. 2006a. Pengembangan peternakan unggas berbasis “Family Poultry” untuk mewujudkan ketahanan pangan hewani dan perbaikan mutu gizi. Prosiding Seminar Nasional SPMIPA. Semarang: FMIPA. Univ. Diponegoro, 9 September 2006.
Rusfidra. 2006b. Model pengembangan peternakan di wilayah pesisir untuk mewujudkan ketahanan pangan hewani, pengentasan kemiskinan dan kecerdasan SDM. Prosiding Konferensi Nasional Pengelolaan Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil. Batam: Departemen Kelautan dan Perikanan, Hotel Novotel Batam, 29 Agustus s/d 1 September 2006.
Rusfidra. 2006c. BLT, malnutrisi dan family poultry. Artikel www.bung-hatta.ac.id (20 Februari 2006).
Rusfidra. 2005a. Mencegah gizi buruk dan mengentaskan kemiskinan; peternakan skala rumahan. Artikel iptek Pikiran Rakyat Bandung, 25 Agustus 2005.
Rusfidra. 2005b. Protein hewani dan kecerdasan. Artikel Opini Sinar Harapan, Jakarta, 8 September 2005.
Rusfidra. 2004. Peternakan dan ketahanan pangan. Artikel iptek Majalah Amanah No 50 th XVII Mei 2004, Jakarta
Rusfidra. 2003. Sistem produksi ayam kampung di pedesaan Indonesia. Jurnal Eksakta, 2003, Hal. 35-45. ISSN 0215-2673. Padang: FMIPA Universitas Negeri Padang.
Yamamoto, Y., T. Namikawa., I. Okada., M. Nishibori., S. S. Manjoer and H. Martojo. 1996. Genetical studies on natives chickens in Indonesia. AJAS, 9 (4): 405-410.
Yami, A. 1995. Poultry production in Ethiopia. World Poult. Sci. Journal 51: 197-201.

Penulis,

Dr. Rusfidra, S.Pt
(Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan UNAND)
Penulis dilahirkan di Nagari Kudu Gantiang, Kab. Padang Pariaman, Sumatera Barat, 22 Juni 1971. Lulus S1 Fakultas Peternakan UNAND Padang pada tahun 1994. Pada tahun 2004 memperoleh gelar doktor Ilmu Peternakan dari IPB Bogor. Saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar Fakultas Peternakan UNAND. Penulis belajar menulis secara mandiri sejak tahun 2002. Ia telah menulis 100 artikel dan 65 diantaranya dimuat di media massa nasional (Republika, Sinar Harapan, Pikiran Rakyat, Padang Ekspres, Amanah, Tarbawi, Buletin Charoen Pokphand) dan beberapa website. Dalam tahun 2007, penulis menerbitkan 4 buku populer peternakan dan 1 buah buku teks yang dipakai secara nasional (khususnya oleh mahasiswa Universitas Terbuka). Ia juga aktif menyampaikan makalah pada berbagai forum seminar ilmiah tingkat nasional di berbagai kota (Jakarta, Bogor, Bandung, Batam, Banten, Yogyakarta, Semarang, Pekanbaru dan Bandar Lampung), di berbagai lembaga (LIPI, Pusat Inovasi LIPI, Puslit Bioteknologi LIPI, FKH IPB, Faperta IPB, FMIPA UNDIP, FMIPA UNES, FMIPA UNY, Faperta UNRI, Lemlit UNILA, PPs UPI, DKP, PPs USAHID, Ditjen Hortikultura DEPTAN, Puslitbang Peternakan dan FMIPA UT). Kumpulan tulisannya dapat dibaca di blog: http://rusfidra.multiply.com

Alamat korespondensi:
Dr. Rusfidra, S.Pt
Kampus FATERNA UNAND Limau Manis, Padang, 25163
HP. 0813-8065-8871
Blog : http://rusfidra.multiply.com
Email : rusfidra_unand@yahoo.co.id

PENGARUH pH TERHADAP PEMBENTUKAN HIDROGEN PADA FOTOKATALISIS AIR RAWA GAMBUT OLEH SERBUK TiO2 NANOPARTIKEL

Oleh :

Sri Milda Hayati (04932039)
Dibimbing oleh : Prof. Dr. Admin Alif dan Olly Norita Tetra M,Si


Hidrogen merupakan salah satu sumber energi alternatif yang ramah lingkungan. Banyak cara yang dapat digunakan untuk memproduksi gas hidrogen. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk memproduksi gas hidrogen adalah melalui reaksi fotokimia, yaitu menggunakan metoda fotokatalisis. Penelitian ini dilakukan melalui fotokatalisis air rawa gambut dengan menggunakan serbuk TiO2 nanopartikel sebagai katalis dan senyawa humat yang terkandung dalam air rawa gambut sebagai sacrificial agent. Sampel dibuat dengan memvariasikan pH larutan dan dilihat pengaruh nya terhadap pembentukan hidrogen. Sampel ditempatkan didalam reaktor kuarsa dan disinari dengan lampu UV dengan λ = 254 nm selama 7 jam. Volume gas yang dihasilkan dihitung berdasarkan pergerakan gelembung sabun. Dari hasil penelitian didapatkan volume gas pada suasana asam (pH 1,57) sebanyak 2,4 mL. Sedangkan pada suasan basa (pH 10,14) sebanyak 3,1 mL. Sehingga dapat diketahui bahwa senyawa humat dapat bertindak sebagai sacrificial agent lebih efektif pada suasana asam dibandingkan pada suasana basa.


PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pertumbuhan populasi penduduk menyebabkan peningkatan permintaan energi dan menipisnya sumber cadangan minyak dunia serta permasalahn emisi dari bahan bakar fosil memberikan tekanan kepada setiap Negara untuk segera memproduksi dan menggunakan energi terbaharukan. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar minyak. Kebijakan tersebut menekankan pada sumber daya yang dapat diperbaharui.1
Hidrogen merupakan salah satu pilihan sebagai energi alternatif karena mudah dikonversi dan tidak merusak lingkungan baik dalam proses pembuatannya ataupun penggunaannya. Bulan September 2007 Kota Seoul di Korea Selatan untuk pertama kalinya berhasil mengoperasikan SPBU atau Stasiun Pengisian Bahan Bakar Hidrogen.1
Di alam hidrogen tidak tersedia dalam bentuk bebas atau dapat ditambang layaknya sumber energi fosil tetapi hidrogen harus diproduksi. Produksi hidrogen dari H2O merupakan cara utama untuk mendapatkan hidrogen dalam skala besar, tingkat kemurniaan yang tinggi dan tidak melepaskan CO2. Hidrogen dapat diproduksi dari air dengan berbagai cara antara lain melalui proses : Steam Methane Reforming (SMR), termokimia, elektrolisis, dan fotolisis. Dalam proses produksi hidrogen dengan SMR ini membutuhkan biaya yang mahal. Proses termokimia-pemanasan temperatur tinggi dapat digunakan dari sumber nuklir untuk menggerakkan proses pemisahan kimia air menjadi hidrogen dan oksigen.
Proses elektrolisis merupakan salah satu metoda dasar dalam menghasilkan hidrogen yaitu dengan melewatkan arus listrik pada air, kemudian air akan terurai menjadi dua molekul yaitu hidrogen dan oksigen. Gas oksigen akan berkumpul pada anoda sedangkan gas hidrogen pada katoda. Teknologi elektrolisis yang digunakan saat ini memerlukan jumlah listrik yang sangat banyak. Hal ini menunjukan bahwa energi yang dikonsumsi untuk proses elektrolisis dengan energi kimia yang dihasilkan masih belum seimbang secara ekonomis.
Salah satu cara sederhana yang dapat digunakan untuk memproduksi hidrogen ini adalah melalui reaksi fotokimia yaitu menggunakan metoda fotokatalisis. Metoda fotokatalisis ini menggunakan radiasi sinar untuk menguraikan air menjadi hidrogen dengan memanfaatkan bahan-bahan yang bersifat semikonduktor seperti TiO2, MnO2, dan Nb6O17 sebagai fotokatalis dan penambahan sacrificial agent.2,3 TiO2 digunakan sebagai fotokatalis dalam fotokatalisis air karena disamping kemampuannya menjalankan fungsi fotokatalis lapisan tipis TiO2 juga mempunyai sifat ampifilik, dimana akan menjadi superhidrofilik bila disinari UV dan kembali menjadi hidrofob pada keadaan gelap dan sebaliknya.4,5
Pemberian energi sinar yang lebih besar dari energi celah suatu semikonduktor pada reaksi fotolisis air akan menghasilkan elektron dan hole yang akan mereduksi dan mengoksidasi H2O menjadi H2 dan O2 yang akan dapat bereaksi kembali membentuk molekul air. Untuk mencegah terbentuknya O2 dalam reaksi ini diperlukan adanya sacrificial agent. Sacrificial agent yang ditambahkan bertindak sebagai penahan rongga agar tidak terjadinya rekombinasi pada permukaan. Pada penelitian ini sampel yang digunakan yaitu air rawa gambut yang mengandung senyawa humat sebagai sacrificial agent yang berfungsi untuk mengurangi terbentuknya O2. Berbagai sacrificial agent untuk mencegah pembentukan oksigen telah digunakan seperti etanol, ion iodida, dan gula.6,7,8 Etanol telah digunakan sebagai sacrificial agent dan didapatkan hasil bahwa penggunaan etanol sebagai sacrificial agent menjadikan tingkat keefektifitasan yang tinggi dalam mencegah pembentukan O2 sehingga H2 yang terbentuk tidak bereaksi kembali dengan O2 membentuk molekul air.6 pada fotolisis air semua sacrificial agent ditambahkan ke dalam air dan membutuhkan tambahan biaya, tetapi dalam air rawa gambut telah terkandung senyawa humat yang dapat bertindak sebagai sacrificial agent.

1.2 Perumusan Masalah
Penelitian fotokatalisis air telah dilakukan sebelumnya dengan menggunakan TiO2 sebagai fotokalisis. Namun belum diperoleh informasi tentang bagaimana pengaruh pH terhadap fotokalisis air rawa gambut. Oleh sebab itu pada penelitian ini dilakukan pengujian pengaruh pH terhadap fotokatalisis air rawa gambut oleh serbuk TiO2 nanopartikel.

1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui pengaruh pH terhadap fotokatalisis air rawa gambut oleh serbuk TiO2 nanopartikel.

1.4 Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini dapat diketahui salah satu cara sederhana yang dapat digunakan untuk memproduksi gas hidrogen yaitu melalui fotokatalisis air rawa gambut dengan memanfaatkan bahan yang bersifat semikonduktor sebagai fotokatalis dan pengaruh pH terhadap fotokatalisis air rawa gambut dan proses produksi gas hidrogen. Cara ini dapat dikembangkan sehingga gas hidrogen dapat diproduksi dalam skala besar untuk digunakan sebagai bahan bakar alternatif.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fotokimia
Fotokimia adalah suatu reaksi yang melibatkan perubahan-perubahan kimia akibat pengaruh sinar. Fotokimia berkaitan erat dengan reaksi yang diawali oleh eksitasi elektron dari suatu molekul akibat serapan cahaya pada panjang gelombang tertentu. Sinar monokromatis dengan panjang gelombang tertentu merupakan suatu energi foton. Sinar yang panjangnya lebih pendek akan memiliki energi kuantum lebih besar. Molekul-molekul pada keadaan tereksitasi ini mempunyai distribusi elektron yang berbeda dari keadaan dasar. Hal ini menyebabkan molekul dalam keadaan tereksitasi mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk berubah ke bentuk produk dibandingkan kembali ke keadaan dasar.9
Penyerapan energi sinar UV oleh suatu molekul dapat mengeksitasikan elektron dalam molekul dari keadaan dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Molekul-molekul yang menyerap sinar bila energi foton yang diserapnya dengan perbedaan energi antara keadaan dasar dan keadaan tereksitasi maka molekul dalam keadaan tereksitasi akan bersifat aktif dibandingkan dalam keadaan dasar.
Pada kenyataannya panjang gelombang yang aktif secara fotokimia hampir selalu ultraviolet dan dengan demikian fotokimia industri dewasa ini dianggap sebagai suatu pengaplikasian panjang gelombang UV. Dewasa ini para ahli fotokimia tidak mempunyai pilihan yang banyak terhadap lampu-lampu. Lampu-lampu tersebut pada umumnya merupakan sumber cahaya uap raksa yang dirangsang.10
Table 1 : Jenis lampu dalam fotokimia
Lampu tekanan rendah Lampu tekanan tinggi
Daya : 0,01 – 0,5 W Daya : 5 – 150 W
Sinar yang diemisikan : 254 nm Sinar yang diemisikan : 313, 365, 425 nm
Panjang : 10 – 200 cm Panjang : 5 – 250 cm
Daya total : 5 -200 W Daya total : 50 W – 100 kW

Dalam fotokimia terdapat dua hukum dasar, menurut hukum I yang dikemukakan oleh Grothus (1817) dan Dropper (1843), dinyatakan bahwa perubahan fotokimia hanya dapat ditimbulkan pada cahaya yang diserap. Hukum II fotokimia diusulkan Stark dan Einstein (1908-1912), menyatakan bahwa molekul yang menyerap suatu kuantum sinar akan mengalami eksitasi (tereksitasi).
Beberapa keistimewaan reaksi fotokimia jika dibandingkan dengan reaksi kimia klasik, diantaranya :
a. Reaksi dapat berlangsung pada temperatur rendah dengan hasil samping sedikit.
b. Reaksi fotokimia lebih spesifik, karena energi sering terlokalisasi pada beberapa ikatan kimia tertentu saja.
c. Reaksi berkenaan dengan perubahan orbital pada keadaan tereksitasi (simetri dan stereokimia berlawanan dengan keadaan dasar), dimana hal ini berbeda dengan yang diperoleh secara klasik.
d. Keistimewaan lain dari reaksi fotokimia adalah dengan menganggap foton sebagai spesies reaktif yang ditempatkan di luar reaktor dan reaksi dapat dihentikan dengan pemutusan aliran foton. Jika E2 adalah energi eksitasi dari sistem dan E1 adalah energi molekul dalam keadaan dasar, maka :

E2 – E1 = h v = h c / λ
Dimana :
h = tetapan planck = 6,62 x 10-34
c = kecepatan cahaya = 3 x 105 km/s
λ = panjang gelombang
v = frekuensi

2.2 Fotolisis
Fotolisis merupakan suatu proses degradasi zat yang dibantu oleh cahaya dan material katalis. Sedangkan fotolisis air merupakan suatu proses untuk menghasilkan gas H2 dan O2 murni dengan memanfaatkan energi cahaya pada sistem. Ketika material fotolisis disinari cahaya, material tersebut menyerap energi foton dan katalis semikonduktor dikenal sebagai material katalis. Beberapa oksida dan sulfide logam yang bersifat semikonduktor seperti TiO2, ZnO, SrTiO3, CdS dapat digunakan sebagai katalis pada proses fotolisis.
Titanium dioksida (TiO2) adalah semikonduktor yang paling umum digunakan. Karena TiO2 bersifat semikonduktor, absorpsi sinar UV oleh Titanium dioksida akan diikuti perpindahan electron dari pita valensi ke pita konduksi (e- pk) dan lubang positif pada pita valensi (h+ pv).4
Mekanisme kerja fotokatalis ditunjukan pada gambar 1. Pada tahap awal terjadi penyerapan foton berfrekuensi v dengan energinya yang besar atau sama dengan energi celah antara pv dan pk, selanjutnya sebuah elektron pada pv tereksitasi ke pk, meninggalkan lubang atau hole yang bermuatan positif. Elektron pada pk ditangkap oleh senyawa akseptor elektron (oks). Senyawa terakhir menjadi reaktif dan terdekomposisi ke bentuk produk mineralisasi.11
Berdasarkan gambar 1 dapat disimpulkan reaksi yang terjadi pada proses fotokatalis :
TiO2 + hv TiO2(h+ pv) + TiO2(e- pk)

oksidator oksidator -

hv pita konduksi
pita valensi

reduktor reduktor+

(produk-produk mineralisasi)

Gambar 1. Proses fotokatalisis yang merangsang terjadinya reaksi kimia
Elektron pada pita konduksi ditangkap oleh eksigen terlarut sebagai spesies oksidator, sedangkan hole akan dinetralkan oleh OH- sebagai berikut :

2 e- + O2 O2=
O2= + 2H+ H2O2
H2O2 + e-pk HO• + HO-
h+pv + HO-(ads) HO• (ads)
Disamping itu hole pada pita valensi juga dapat dinetralkan muatannya oleh spesies reduktor yang ada dalam larutan.
R + h+pv R•+
Selanjutnya R•+ bereaksi dengan radikal hidroksil (HO•) untuk membentuk produk-produk mineralisasi seperti air dan CO2. HO• inilah yang berperan dalam mendegradasi senyawa. Namun disamping itu kemungkinan lain yang dapat terjadi pada fotolisis yaitu reaksi yang terjadi pada pita konduksi dan reaksi yang terjadi pada pita valensi adalah sebagai berikut :
• Pada pita konduksi :
2 H+ + 2 e- 2 H•
2 H• H2
• Pada pita valensi
2 OH- + 2 h+ 2 OH•
2 OH• H2O2 + ½ O2
Jadi dalam reaksi ini disamping pembentukan gas hidrogen juga akan terbentuk gas oksigen. H2 dan O2 akan dapat bereaksi kembali membentuk molekul air. Hal ini tentunya tidak diharapkan, untuk itulah ke dalam reaksi ini diperlukan adanya sacrificial agent. Pada penelitian ini sampel yang digunakan yaitu air gambut yang mengandung asam humat sebagai sacrificial agent yang berfungsi untuk mengurangi terbentuknya O2 pada pita valensi (untuk menangkap sebagian OH•).

2.3 Titanium Dioksida (TiO2)
TiO2 merupakan katalis yang paling cocok digunakan untuk degradasi senyawa organik karena TiO2 paling aktif dan praktis untuk diaplikasikan dalam penanganan masalah lingkungan seperti purifikasi dan pengolahan limbah cair, pengendalian limbah berbahaya, purifikasi udara dan desinfeksi air. Hal ini disebabkan karena TiO2 bersifat semikonduktor, tidak larut dalam air, daya tahan dan resisten terhadap abrasi atau gores. Biasanya terdapat dalam bentuk powder atau lapisan tipis yang bersifat amfoter dan sulit larut dalam air, dengan berat molekul 79,90 g/mol dimana kadar Ti 59,95 % dan kadar O2 40,05 %. Titik leleh dari TiO2 adalah 1870oC. TiO2 tidak larut dalam HCl, HNO3 dan H2SO4 encer, tetapi larut dalam H2SO4 pekat.
Titanium dioksida memiliki tiga struktur kristal, yaitu rutil, anatase, dan bronkite. Pembuatan TiO2-rutile dilakukan pada suhu 600-1200oC dan TiO2-brokite dengan pemanasan diatas 1200oC. Hanya rutil dan anatase yang cukup stabil keberadaannya dan biasa digunakan sebagai fotokatalis. Perbedaan kedua struktur mengakibatkan perbedaan massa jenis (3,9 g untuk anatase dan 4,2 g/cc untuk rutil), luas permukaan, dan sisi aktifnya.5
TiO2 sebagai fotokatalisis dipelajari secara ekstensif untuk degradasi polutan lingkungan. Reaksi fotokatalitik terjadi pada permukaan sehingga sifat permukaan TiO2 menjadi faktor penting yang menentukan kinetika dan mekanisme reaksi fotokatalitik. Aktifitas katalitiknya dipengaruhi oleh struktur kristal, luas permukaan, distribusi ukuran partikel porositas, densitas permukaan grup hidroksil, dan sebagainya.
Permukaan TiO2 (bersifat semikonduktor) menghasilkan pasangan elektron dan hole positif pada permukaannya. Absorbsi sinar UV oleh TiO2 akan diikuti perpindahan elektron pita valensi ke pita konduksi dimana terbentuk pasangan elektron pada pita konduksi (e-pk) dan lubang positif pada valensi (h+pv).

2.4 Hidrogen
Hidrogen berasal dari bahasa yunani, hydro yang artinya air, dan genes yaitu pembentukan. Hidrogen telah digunakan bertahun-tahun sebelum akhirnya dinyatakan sebagai unsur yang unik oleh Cavendish di tahun 1776. Dinamakan hidrogen oleh Lavoisier, hidrogen adalah unsur yang terbanyak dari semua unsur di alam semesta. Elemen-elemen yang berat pada awalnya dibentuk dari atom-atom hidrogen atau dari elemen-elemen yang mulanya terbuat dari atom-atom hidrogen.
Hidrogen diperkirakan membentuk komposisi lebih dari 90% atom-atom di alam semesta (sama dengan tiga perempat massa alam semesta). Unsur ini ditemukan di bintang-bintang dan memainkan peranan yang penting dalam memberikan sumber energi jagat raya melalui reaksi proton-proton dan siklus karbon-nitrogen. Proses fusi atom-atom hidrogen menjadi helium di matahari menghasilkan jumlah energi yang sangat besar.
Dikenal tiga isotop hidrogen, yaitu 1H, 2H (deuterium atau D) dan 3H (tritium atau T). Walaupun efek isotop paling besar bagi hidrogen, untuk membenarkan penggunaan nama yang berlainan bagi dua isotop yang lebih berat, maka sifat-sifat kimia H, D, dan T pada hakikatnya serupa kecuali dalam hal-hal seperti laju dan tetapan kesetimbangan reaksi. Bentuk normal unsurnya adalah molekul diatom, berbagai kemungkinannya ialah H2, D2, T2, HD, HT, DT.
Hidrogen molekular berupa gas tidak bewarna, tidak berbau (titik beku 20,28oK), sebenarnya tidak larut dalam air. Paling mudah dibuat melalui reaksi asam encer dengan logam seperti Zn atau Fe, dan melalui elektrolisis air.
Hidrogen tidaklah luar biasa reaktif. Hidrogen terbakar di udara membentuk air, serta akan bereaksi dengan oksigen dan halogen dengan disertai ledakan pada kondisi tertentu. Pada suhu tinggi gas tersebut akan mereduksi banyak oksida, baik menjadi oksida yang lebih rendah ataupun menjadi logamnya. Dengan adanya katalis yang sesuai di atas suhu kamar, ia bereaksi dengan N2 membentuk NH3. Dengan logam elektropositif dan kebanyakan nonlogam ia membentuk hidrida.12
Hidrogen banyak digunakan untuk mengikat nitrogen dengan unsur lain dalam proses Haber (memproduksi amonia) dan untuk proses hidrogenasi lemak dan minyak. Hidrogen juga digunakan dalam jumlah yang banyak dalam produksi methanol, di dealkilasi hidrogen (hydrodealkylation), katalis hydrocracking, dan sulfurisasi hidrogen. Kegunaan-kegunaan lainnya termasuk sebagai bahan bakar roket, memproduksi asam hidroklorida, mereduksi bijih-bijih besi dan sebagai gas pengisi balon. Daya angkat 1 kaki kubik gas hidrogen sekitar 0.07 lbf pada suhu 0oC dan tekanan udara 760 mmHg.
Baterai yang berbahan bakar hidrogen (Hydrogen Fuel cell) adalah teknologi baru yang sedang dikembangkan, di mana tenaga listrik dalam jumlah besar dapat dihasilkan dari gas hidrogen. Pabrik-pabrik baru dapat dibangun dekat dengan laut untuk melakukan proses elektrolisis air laut guna memproduksi hidrogen. Gas yang bebas polusi ini lantas dapat dialirkan melalui pipa-pipa dan disalurkan ke daerah-daerah pemukiman dan kota-kota besar. Hidrogen dapat menggantikan gas alam lainnya, bensin, agen dalam proses metalurgi dan berbagai proses kimia (penyulingan), dan mengubah sampah menjadi metan dan etilen. Kendala-kendala yang ada untuk mewujudkan impian tersebut masih banyak. Di antaranya persetujuan publik, penanaman modal yang besar dan harga hidrogen yang masih jauh lebih mahal ketimbang bahan bakar lainnya sekarang.

2.4.1 Pembuatan Hidrogen
Ada beberapa metode yang lain dalam pembuatan gas hidrogen yang telah kita kenal. Namun semua metode pembuatan tersebut prinsipnya sama, yaitu memisahkan hidrogen dari unsur lain dalam senyawanya. Tiap-tiap metode memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing. Tetapi secara umum parameter yang dapat dipertimbangkan dalam memilih metode pembuatan H2 adalah biaya, emisi yang dihasilkan, kelayakan secara ekonomi, skala produksi, dan bahan baku.
1. Sistem Reforming
Dalam proses ini, gas alam seperti metana, propana, atau etana direaksikan dengan steam (uap air) pada suhu tinggi (700-1000oC) dengan bantuan katalis, untuk menghasilkan hidrogen, karbon dioksida, dan karbon monoksida. Sebuah reaksi samping juga terjadi antara karbon monoksida dengan steam, yang menghasilkan hidrogen dan karbon dioksida. Persamaan reaksi yang terjadi pada proses ini adalah :
CH4 + H2O CO + 3 H2
CO + H2O CO2 + H2
Gas hidrogen yang dihasilkan kemudian dimurnikan dengan memisahkan karbon dioksida dengan cara penyerapan. Saat ini, steam reforming banyak digunakan untuk memproduksi gas hidrogen secara komersil di berbagai sector industri diantaranya industri pupuk dan hidrogen peroksida (H2O2). Akan tetapi metode produksi seperti ini sangat tergantung dari ketersediaan gas alam yang terbatas, serta menghasilkan gas CO2 sebagai gas efek rumah kaca.
2. Gasifikasi Biomasa
Metode yang kedua adalah gasifikasi biomasa atau bahan alam seperti jerami, limbah padat rumah tangga atau kotoran. Di dalam prosesnya, bahan-bahan tadi dipanaskan pada suhu tinggi dalam sebuah reaktor. Proses pemanasan ini mengakibatkan ikatan molekul dalam senyawa yang ada menjadi terpecah dan menghasilkan campuran gas yang terdiri dari hidrogen, karbon monoksida dan metana. Selanjutnya dengan cara yang sama seperti pada sistem reforming, metana yang dihasilkan diubah menjadi gas hidrogen.
Gasifikasi biomassa atau bahan organik memiliki beberapa keunggulan, antara lain menghasilkan lebih sedikit karbon dioksida, sumber bahan baku yang berlimpah dan terbarukan, bisa diproduksi di hampir seluruh tempat di dunia serta biaya produksi yang lebih murah.
3. Gasifikasi Batu Bara
Gasifikasi batu bara merupakan metode pembuatan gas hidrogen tertua. Biaya produksinya hamper dua kali lipat dibandingkan dengan metode steam reforming gas alam. Selain itu, cara ini uga menghasilan emisi gas buang yang signifikan. Karena selain CO2 juga dihasilkan senyawa sulfur dan karbon monoksida.
Melalui cara ini, batu bara pertama-tama dipanaskan pada suhu tinggi dalam sebuah reaktor untuk mengubahnya menjadi fasa gas. Selanjutnya, batu bara direaksikan dengan steam dan oksigen, yang kemudian menghasilkan gas hidrogen, karbon monoksida, dan karbon dioksida.
4. Eletrolisa Air (H2O)
Elektrolisa air memanfaatkan arus listrik untuk menguraikan air menjadi unsur-unsur pembentuknya, yaitu H2 dan O2. Gas hidrogen muncul di kutub negative atau katoda dan oksigen berkumpul di kutub positif atau anoda. Hidrogen yang dihasilkan dari proses elektrolisa air berpotensi menghasilkan zero emission , apabila listrik yang dihasilkan dari generator listrik bebas polusi seperti energi angin atau panas matahari. Namun demikian dari sisi konsumsi energi, cara ini memerlukan energi listrik yang cukup besar.

2.5 Tanah Gambut
Tanah gambut merupakan tanah yang berlapisan sepuk atau gambut yang cukup tebal yang terdiri atas sisa jaringan tumbuhan yang tumbuh dalam rawa (timbunan residu) dan tanah gambut merupakan hasil pengendapan bahan organik yang terdekomposisi secara tidak sempurna. Gambut merupakan zat polimer yang mengandung gugus karboksilat dan fenol. Sifat asam air gambut juga disebabkan adanya tanah lempung yang mengandung sulfida dan kemudian teroksidasi menjadi asam sulfat.
Lahan gambut tersebar di Indonesia di daerah pantai timur pulau Sumatera, pantai barat dan selatan pulau Kalimantan, dan pantai selatan dan utara pulau Irian Jaya. Kedalaman gambut dan tanah mineral yang ada di bawahnya sangat menentukan komposisi kimia tanah gambut.
Berdasarkan lingkungan tumbuh dan pengendapannya, gambut dapat dibagi atas dua jenis, yaitu :
1. Gambut topogen ialah lapisan tanah gambut yang terbentuk karena genangan air yang terhambat drainasenya pada tanah-tanah cekung di belakang pantai, di pedalaman atau di pegunungan. Gambut jenis ini umumnya tidak begitu dalam, hingga sekitar 4 m saja, tidak begitu asam airnya dan relatif subur, dengan zat hara yang berasal dari lapisan tanah mineral di dasar cekungan, air sungai, sisa-sisa tumbuhan, dan air hujan. Gambut topogen relatif tidak banyak dijumpai.
2. Gambut ombrogen lebih sering dijumpai, meski semua gambut ombrogen bermula sebagai gambut topogen. Gambut ombrogen lebih tua umurnya, pada umumnya lapisan gambutnya lebih tebal, hingga kedalaman 20 m, dan permukaan tanah gambutnya lebih tinggi daripada permukaan sungai di dekatnya. Kandungan unsur hara tanah sangat terbatas, hanya bersumber dari lapisan gambut dan dari air hujan, sehingga tidak subur. Sungai-sungai atau drainase yang keluar dari wilayah gambut ombrogen mengalirkan air yang keasamannya tinggi (pH 3,0–4,5), mengandung banyak asam humus dan warnanya coklat kehitaman seperti warna air teh yang pekat. Itulah sebabnya sungai-sungai semacam itu disebut juga sungai air hitam.
2.5.1 Karakteristik Air Rawa Gambut
Air rawa gambut adalah air permukaan tanah bergambut yang bewarna merah kecoklatan, kandungan senyawa organiknya tinggi, rasa asam (pH 2-5), dan tingkat kesadahan yang rendah. Air rawa gambut ini tidak memenuhi syarat sebagai air minum. Keasaman tanah gambut berhubungan dengan asam-asam organik, dimana tingkat keasaman tanah gambut berhubungan dengan asam-asam organik, dimana tingkat keasaman tanah gambut akan semakin tinggi dengan semakin tebalnya lapisan gambut.
Secara umum, senyawa organik pada air rawa gambut berdasarkan tingkat kematangan senyawa organiknya terbagi dua :
1. Senyawa organik yang belum terhumifikasi terdiri atas lapisan lignin, steroid, karbohidrat, triterpenoid, asam amino, vitamin, kitin, resin, dan lilin.
2. Senyawa organik yang telah terhumifikasi, dikenal dengan material humus/humat yang terdiri dari senyawa humat dan merupakan akhir proses penguraian.
Secara operasional, material humat yang terdapat dalam air rawa gambut dibagi menjadi tiga fraksi utama, yaitu :
1. Asam humat, yaitu fraksi senyawa humat yang larut dalam basa dan tidak larut dalam air bila pH < 2 (asam)
2. Asam fulvat, yaitu fraksi senyawa humat yang larut dalam asam dan mengendap dalam basa.
3. Asam humin, yaitu senyawa humat yang tidak larut dalam air pada semua nilai pH (asam dan basa).
Kualitas air rawa gambut dipengaruhi oleh karakteristik daerahnya, antara lain tekstur tanah, tumbuhan yang tumbuh di atasnya, ketebalan, dan unsur humus. Apabila manusia mengkonsumsi air yang mengandung zat organik akan menyebabkan terganggunya metabolisme tubuh, pencernaan, aliran darah, dan reproduksi sel yang dapat menimbulkan penyakit kronis dan akut, bahkan ada yang berujung kematian.


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Elektrokimia Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas Padang. Penelitian dilakukan dari bulan Maret – Juli 2010.

3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat yang digunakan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah reaktor kuarsa, alat yang dimodifikasi dengan penambahan lampu UV λ = 254 nm (Philips, germicide tekanan rendah 15 W), buret 50 mL, Scanning Electron Microscope (SEM), pH-meter (AB 15, Fisher Scientific), neraca analitik, kaca arloji, stop watch, furnace, magnetic stirrer, dan alat-alat gelas lainnya.

3.2.2 Bahan yang digunakan
Bahan-bahan yang digunakan antara lain : sampel air rawa gambut, TIP ( titanium Isoproksida), DEA (dietanol amin), isopropanol, sabun cair, asam klorida, natrium hidroksida, dan aquadest.

3.3 Prosedur Kerja
3.3.1 Pembuatan TiO2 nanopartikel
Pembuatan Titanium dioksida (TiO2) nanopartikel dilakukan dengan menambahkan pelarut alkohol (isopropanol) ke dalam DEA (dietanol amin) sambil diaduk dengan stirer, dilanjutkan dengan penambahan TIP ( titanium Isoproksida), dan kemudian dilakukan pengadukan selama ± 4 jam pada suhu kamar. Perbandingan komposisi TIP dan DEA yang digunakan yaitu 1:2 (konsentrasi TIP 0,5 M) di dalam 20 mL larutan. Kemudian uapkan pelarut pada suhu 100oC-110oC selama 30 menit, dan dilanjutkan dengan pemanasan pada suhu 400oC selama 30 menit untuk proses kalsinasi. TiO2 nanopartikel yang dihasilkan dikarakterisasi dengan alat Scanning Electron Microscope (SEM).

3.3.2 Pembuatan Gelembung Sabun
Gelembung sabun dibuat dengan mengencerkan sabun cair dengan air dalam jumlah tertentu sampai larutan sabun agak pekat. Kemudian sabun dimasukan ke dalam buret dengan menutup kran buret terlebih dahulu sehingga seluruh dinding buret dibasahi oleh sabun. Kelebihan cairan sabun dikeluarkan dan buret ditiup secara perlahan hingga terbentuk gelembung sabun. Buret ditiup hingga gelembung sabun menunjukan skala tertentu pada buret. Setelah itu hubungkan buret dengan reaktor fotolisis. Gelembung sabun digunakan untuk menentukan berapa jumlah volume gas hidrogen yang terbentuk.

3.3.3 Pembuatan Larutan Sampel dengan pengaturan pH
Air rawa gambut dan TiO2 nanopartikel dimasukan ke dalam gelas piala dan diatur pH larutan. Untuk pengaturan pH asam dilakukan dengan penambahan HCl dan untuk pengaturan pH basa dengan penambahan NaOH. Kemudian pH larutan dicek dengan pHmeter. Larutan sampel yang telah dipersiapkan dimasukan ke dalam reaktor kuarsa dan difotolisis selama 7 jam.

3.3.4 Fotokatalisis Air Rawa Gambut
Fotokatalisis air rawa gambut dilakukan pada beberapa perlakuan kondisi yang berbeda, berupa variasi pH. Ke dalam tabung sampel (B) pada Gambar 2, dimasukkan sampel air rawa gambut dengan pH tertentu dan ditambahkan serbuk TiO2 nanopartikel. Kemudian dilakukan penyinaran selama beberapa menit. Gas yang terbentuk akan mengalir melalui pipa atau selang menuju buret yang akan mendorong busa sabun yang terdapat di dalam buret sehingga diketahui volume gas yang terbentuk.


Gambar 2. Model percobaan fotokatalisis air rawa gambut

Keterangan gambar :
A = Lampu UV sebagai sumber sinar untuk fotolisis (λ = 254 nm)
B = Tempat sampel (reaktor kuarsa)
C = Pipa atau selang tempat mengalirnya gas
D = Buret yang berisi gelembung sabun
E = Klem/standar
F = Gelembung sabun

3.3.5 Uji Pembentukan Gas Hidrogen
Uji pembentukan gas hidrogen dilakukan dengan menggunakan nyala lilin. Nyala lilin diletakkan dekat selang tempat keluar gas hidrogen. Perubahan nyala lilin yang terbentuk diamati dan dibandingkan dengan nyala lilin yang dijauhkan dari selang.


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakterisasi TiO2 nanopartikel (yang diperoleh melalui metode sol-gel) dengan Scanning Electron Microscopy


(a) ( b)

Gambar 3 : Hasil karakterisasi TiO2 dengan Scanning Electron Microscope (SEM)
(a) Perbesaran 5000X ; (b) Perbesaran 14000X

Karakterisasi TiO2 dengan menggunakan SEM memperlihatkan bahwa partikel TiO2 yang dihasilkan berbentuk granular dan tidak homogen. Pecahan partikel TiO2 yang sebenarnya berbentuk granular ini disebabkan karena pemberian panas yang tidak konstan pada saat proses kalsinasi. Range ukuran partikel TiO2 yang disintesis adalah sekitar 91 nm – 4 µm. Berdasarkan Gambar 2 terlihat bahwa katalis TiO2 yang disintesis terbukti berukuran nanopartikel, karena ukuran nano berkisar 1 – 100 nm. meskipun masih ada partikel yang berada dalam ukuran mikrometer karena TiO2 yang dihasilkan tidak homogen.

4.2 Pembentukan Gas Pada Fotokatalisis Air Rawa Gambut oleh Serbuk TiO2 nanopartikel pada Berbagai Variasi pH
Pembentukan gas pada fotolisis air pada gambar 4 :

Gambar 4 : Volume gas yang dihasilkan pada fotolisis air dan air rawa gambut.

Pada gambar 4 terlihat bahwa fotolisis air secara langsung untuk pembentukan gas H2. Pada fotolisis air volume gas yang terbentuk sebanyak 3,4 mL, sedangkan pada fotolisis air rawa gambut volumen gas yang terbentuk sebanyak 3,1 mL. Fotolisis air secara langsung untuk pembentukan H2 melaui homolisis air menghasilkan H• dan OH•. H• yang terbentuk akan bergabung membentuk gas H2 dan OH• bergabung membentuk H2O dan gas O2 . Jadi, dalam reaksi ini disamping pembentukan gas O2 juga akan terbentuk H2. H2 dan O2 akan dapat bereaksi kembali membentuk molekul air. Hal ini tentunya tidak diharapkan, untuk itulah kedalam reaksi ini ditambahkan sacrificial agent. Di dalam sampel air rawa gambut telah mengandung senyawa humat yang dapat berperan sebagai sacrificial agent. Sebagian OH• yang terbentuk akan mendegradasi senyawa humat yang terdapat dalam air rawa gambut, sehingga pembentukan gas O2 dapat dicegah/dikurangi yang dapat diamati dari berkurangnya volume gas yang terbentuk pada fotolisis air rawa gambut.
Pembentukan gas pada penyinaran air rawa gambut dapat dilihat pada Gambar 5 :


Gambar 5 : Volume gas yang dihasilkan pada fotokatalisis air rawa gambut oleh serbuk TiO2 nanopartikel pada berbagai variasi pH

Reaksi yang terjadi pada fotokatalisis air terbagi 2, yaitu reaksi yang terjadi pada pita konduksi dan pita valensi. Beberapa reaksi yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut : Di dalam air selalu terdapat ion H+ dan OH- dengan jumlah yang sangat kecil tergantung pH.
H2O H+ + OH-
 Pada pita konduksi
O2 + 2 e- O22-
O22- + 2 H+ H2O2 H2O + ½ O2
 Pada pita valensi
2 OH- + 2 h+ 2 OH•
2 OH• H2O2 H2O + ½ O2

Bila reaksi berlangsung seperti ini, maka tidak mungkin terbentuk H2 pada permukaan katalis, karena yang terbentuk adalah O2 kembali. Dari pengamatan terlihat adanya pembentukan gas, oleh sebab itu kemungkinan reaksi lainnya pada permukaan katalis adalah sebagai berikut :
 Pada pita konduksi
a. 2 H+ + 2 e- 2 H•
2 H• H2
 Pada pita valensi
2 OH- + 2 h+ 2 OH•
2 OH• H2O2 H2O + ½ O2

Jadi, dalam reaksi ini disamping pembentukan gas O2 juga akan terbentuk H2. H2 dan O2 akan dapat bereaksi kembali membentuk molekul air. Hal ini tentunya tidak diharapkan, untuk itulah kedalam reaksi ini ditambahkan sacrificial agent. Di dalam sampel air rawa gambut telah mengandung asam humat yang dapat berperan sebagai sacrificial agent. Sacrificial agent berfungsi untuk mengurangi terbentuknya O2 pada pita valensi (untuk menangkap sebagian OH•)

Gambar 5 menunjukan volume gas yang terbentuk selama penyinaran sampel air rawa gambut. Volume gas yang terbentuk pada penyinaran air rawa gambut mencapai 3,1 mL. Pada proses ini selain terbentuk H2 kemungkinan masih ada terbentuk sedikit O2. Adanya oksigen yang terbentuk menyebabkan H2 dan O2 bereaksi kembali membentuk H2O sehingga semakin sedikit gas yang dihasilkan. Sedikitnya gas yang dihasilkan menyebabkan pergerakan gelembung menjadi sedikit. Setelah penyinaran selama 315 menit terlihat kurvamendatar dengan kata lain volume gas tidak bertambah lagi. Hal ini disebabkan karena tercapainya kesetimbangan antara pembentukan gas O2 dan H2 dengan pembentukan molekul H2O.
Adanya penambahan katalis TiO2 (pH larutan 7,48) menyebabkan terjadinya penurunan jumlah gas yang dihasilkan. Pada Gambar 3 terlihat volume gas yang terbentuk selama penyinaran hanya mencapai 2,7 mL. Peran TiO2 sebagai katalis menyebabkan asam humat yang terdapat dalam air rawa gambut bereaksi lebih cepat dengan OH• sehingga mengurangi terbentuknya gas O2 yang secara langsung dapat diamati dengan penurunan volume gas.
Pada pH asam yaitu pH 1.57, volume gas yang terbentuk mengalami penurunan. Tetapi pada pH 3.00 dan 5.13 volume gas yang terbentuk hampir sama dengan pada pH 7.48. Disini terlihat apabila pH larutan diturunkan (pH asam) terjadi juga penurunan volume gas yang terbentuk Bila larutan diasamkan maka OH• akan lebih cepat lagi bereaksi dengan asam humat karena terserap pada permukaan TiO2 sehingga pembentukan O2 akan dicegah/dikurangi. Sebaliknya, pada pH basa (pH 10.14 – 14.00) volume gas lebih banyak terbentuk kembali mendekati volume gas yang terbentuk pada penyinaran air rawa gambut. Naiknya volume gas tersebut disebabkan karena pada pH tinggi maka asam humat akan terion dan menyebabkannya sulit terserap pada permukaan TiO2, akibatnya OH• bergabung kembali membentuk O2. Terbentuknya O2 akan meningkatkan kembali volume gas yang dihasilkan.

4.3 Uji Pembentukan Gas Hidrogen
Uji nyala dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya hidrogen yang dihasilkan. Pengujian dilakukan dengan melihat perbedaan yang terjadi pada nyala lilin saat sampel disinari. Ketika pipa tempat keluarnya gas diarahkan pada lilin, setelah penyinaran dilakukan beberapa menit dapat terlihat tejadinya perbedaan nyala lilin dimana nyala yang dihasilkan lebih kuat dibandingkan dengan nyala yang jauh dari selang/pipa tempat keluarnya gas. Dari pengamatan yang dilakukan dapat disimpulkan dalam percobaan ini dihasilkan gas hidrogen.


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan diantaranya :
1. pH mempengaruhi fotokatalisis air rawa gambut dalam pembentukan gas hidrogen.
2. Senyawa humat dalam air rawa gambut dapat bertindak sebagai sacrificial agent dan berfungsi lebih efektif pada suasana asam dibandingkan pada suasana basa, yaitu pada pH 1,57.
5.2 Saran
Agar hasil penelitian ini dapat diaplikasikan maka dibutuhkan penelitian lebih lanjut yaitu dengan memisahkan produk fotolisis secara langsung sehingga dapat diketahui jumlah gas H2 secara lebih tepat dan diharapkan metoda ini dapat dikembangkan sehingga gas hidrogen dapat diproduksi dalam skala besar untuk digunakan sebagai bahan bakar alternatif.


DAFTAR PUSTAKA


1. Pembudi, A. Pemanfaatan Biogas Sebagai Energi Alternatif. UGM. (25 Februari 2008)
2. I. Kazuyoshi, Y. Takashi, U. Ugur, I. Shintaro, Altuntasogglu, K. Michio, M. Yasumichi. 2006. Photoelecthrochemical Oxidation of Methanol on Oxide Nanosheets, J. Physical Chemistry, 110, 4465-4650
3. W, Zhoung-Sheng, S. Takayoshi, M. Masaru, E. Yasuo, T. Tomohiro, W. Lianzhou, W. Mamoru. 2003. Self-Assembled Multylayers of Titania Nanoparticles and Nanosheets with Polyelectrolytes. Chem. Mater, p 3829-3831
4. H. Yoshida, K. Hirao, J. Nishimoto, K. Shimura, S. Kato, H, Itoh, T. Hattori. 2008. Hydrogen Produktion from Methane and Water on Platinum Loaded Titanium Oxide Photocatalysts. J. Physical Chemistry. 14, 5542-5547.
5. Gunlazuardi, J. 2001. Fotokatalisis Pada Permukaan TiO2 : Aspek Fundamental dan Aplikasinya. Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Indonesia.
6. Mulia, V. 2009. Fotolisis Air dengan Adanya Etanol dan Katalis TiO2. Skripsi Sarjana, Jurusan Kimia FMIPA UNAND, Padang.
7. Mulya, P. S. 2010. Pengaruh Udara Terhadap Fotolisis Air oleh Serbuk TiO2 Dengan Adanya Kalium Iodida. Skripsi Sarjana, Jurusan Kimia, FMIPA UNAND, Padang.
8. Putra, H. C. 2010. Pengaruh Udara Terhadap Fotolisis Air oleh Serbuk TiO2 dengan adanya sukrosa. Skripsi Sarjana, Jurusan Kimia, FMIPA UNAND, Padang.
9. Aziz, H., Alif, A., dan Safni., Proses Primer dalam Fotokimia, FMIPA UNAND, Padang, 1995, hal. 43-50.
10. Andre J, C. et al. 1998. Industrial Photochemistry, J of Photochemistry and Photobiology. A. Chemistry, 42, 386-396.
11. D. Masafumi, O. Shoichi, H. Mamoru. 2001. Numerical Simulation of Influence of Hydrogen Peroxide Photolysis on Water Chemistry in BWR Plant. J. of Nuclear Science and Technology, 38, 8, 637-644.
12. Cotton, F. A, dan Wilkinson, G. 1989. Kimia Anorganik Dasar, UI Press, Jakarta.
13. Kusnaedi, 2000. Mengolah Air Gambut dan Air kotor untuk Air Minum, Penebar Swadaya, Jakarta, hal 3-6,10-11,23-24.
14. Fujhisima, A. K. Honda, 1972. Electrochemical Ptotolysis of Water at A Semiconductor Electrode, Nature, 238, 37-8

Lampiran 1. Data pengamatan volume gas yang terbentuk selama fotokatalisis air rawa gambut oleh serbuk TiO2 nanopartikel pada berbagai variasi pH
Waktu Air Rawa Air Rawa Gambut + TiO2 nanopartikel (mL)
(menit) Gambut (mL) pH 1.57 pH 3.00 pH 5.13 pH 7.48 pH 8.31 pH 10.14 pH 12.55 pH 14.00
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
15 1.2 0.6 0.7 0.8 0.9 0.6 1.0 0.7 0.8
30 1.6 0.9 1.2 1.1 1.3 1.1 1.7 1.3 1.4
45 2.0 1.4 1.4 1.5 1.6 1.5 1.9 1.7 1.8
60 2.0 1.7 1.6 2.0 1.8 1.7 2.2 1.8 2.0
75 2.1 1.7 1.7 2.0 1.9 1.7 2.3 1.8 2.1
90 2.2 1.8 1.8 2.0 2.0 1.8 2.3 1.9 2.2
105 2.3 1.8 1.9 2.2 2.2 1.9 2.3 2.1 2.2
120 2.4 1.9 2.0 2.2 2.3 2.0 2.6 2.1 2.3
135 2.4 2.0 2.0 2.2 2.3 2.0 2.6 2.2 2.3
150 2.4 2.1 2.1 2.2 2.4 2.1 2.6 2.4 2.4
165 2.4 2.1 2.2 2.4 2.5 2.2 2.6 2.5 2.4
180 2.4 2.1 2.3 2.5 2.5 2.2 2.7 2.6 2.5
195 2.4 2.2 2.3 2.5 2.6 2.2 2.7 2.6 2.6
210 2.5 2.3 2.3 2.5 2.6 2.2 3.0 2.6 2.6
225 2.6 2.3 2.3 2.6 2.6 2.3 3.0 2.7 2.7
240 2.6 2.3 2.5 2.7 2.6 2.3 3.0 2.7 2.7
255 2.7 2.3 2.5 2.7 2.6 2.4 3.0 2.7 2.8
270 2.7 2.3 2.5 2.7 2.6 2.4 3.0 2.8 2.8
285 2.8 2.3 2.5 2.7 2.6 2.4 3.0 2.8 2.9
300 2.9 2.4 2.6 2.7 2.7 2.5 3.0 2.8 2.9
315 3.0 2.4 2.6 2.7 2.7 2.5 3.0 2.8 2.9
330 3.0 2.4 2.6 2.8 2.7 2.5 3.0 2.8 2.9
345 3.0 2.4 2.6 2.8 2.7 2.5 3.0 2.9 2.9
360 3.0 2.4 2.6 2.8 2.7 2.5 3.1 2.9 3.0
375 3.0 2.4 2.6 2.8 2.7 2.5 3.1 2.9 3.0
390 3.1 2.4 2.6 2.8 2.7 2.6 3.1 2.9 3.0
405 3.1 2.4 2.6 2.8 2.7 2.6 3.1 2.9 3.0
420 3.1 2.4 2.7 2.8 2.7 2.6 3.1 2.9 3.0

Lampiran 2. Gambar perubahan nyala lilin yang terbentuk selama penyinaran dengan sinar UV


(a) (b)
(a) Nyala lilin yang jauh dari selang/pipa
(b) Nyala lilin yang dekat dari selang/pipa