<<< Lembaga Kajian Ilmiah Mahasiswa >>>

::Wilujeung Sumping di Weblog LKIM UNAND Padang::. Semoga site gratisan ini bukan hanya menambah literatur-literatur dalam dunia kepenulisan, tetapi juga lebih khusus untuk menambah khazanah keilmuan science dan keislaman, karena di masa kebangkitan seperti sekarang ini (menurut sejarah islam) yang sebelumnya Islam di Andalusia (Spanyol) begitu kuat dan hebatnya, harus tunduk dan hancur oleh kaum Hulagu dari bangsa Bar-Bar, oleh karena itu kita pun di harapkan untuk selalu berkarya, baik melalui dunia kepenulisan, dunia jurnalistik maupun yang lainnya, karena memang tidak bisa kita pungkiri bahwa Islam khususnya yang ada di Indonesia ini sangat butuh dengan orang-orang yang profisional dalam bidangnya masing-masing. Nah...site ini pun tampil untuk menunjukkan bahwa kami ingin menambah khazanah keislaman dalam berkarya, walaupun hanya sebutir debu di padang pasir, tetapi akan sangat bermakna jika kita mendalaminya, Amin

Selasa, 16 Juni 2009

PENCEMARAN TELUR OLEH MIKROORGANISME

Posted by Azhari Nuridinar


PENDAHULUAN

Telur adalah salah satu sumber protein hewani yang memilik rasa yang lezat, mudah dicerna, dan bergizi tinggi. Selain itu telur mudah diperoleh dan harganya murah. Telur dapat dimanfaatkan sebagai lauk, bahan pencampur berbagai makanan, tepung telur, obat, dan lain sebagainya. Telur terdiri dari protein 13 %, lemak 12 %, serta vitamin, dan mineral. Nilai tertinggi telur terdapat pada bagian kuningnya. Kuning telur mengandung asam amino esensial yang dibutuhkan serta mineral seperti : besi, fosfor, sedikit kalsium, dan vitamin B kompleks. Sebagian protein (50%) dan semua lemak terdapat pada kuning telur. Adapun putih telur yang jumlahnya sekitar 60 % dari seluruh bulatan telur mengandung 5 jenis protein dan sedikit karbohidrat. Kelemahan telur yaitu memiliki sifat mudah rusak, baik kerusakan alami, kimiawi maupun kerusakan akibat serangan mikroorganisme melalui pori-pori telur. Oleh sebab itu usaha pengawetan sangat penting untuk mempertahankan kualitas telur.

Kualitas telur ditentukan oleh :

    1. kualitas bagian dalam (kekentalan putih dan kuning telur, posisi kuning telur, dan ada tidaknya noda atau bintik darah pada putih atau kuning telur) dan
    2. kualitas bagian luar (bentuk dan warna kulit, permukaan telur, keutuhan, dan kebersihan kulit telur).
Telur terdiri dari kulit telur, selaput, lendir putih (albumen) dan kuning telur. Struktur kulit telur, keras tetapi porus dan terbentuk dari garam-garam anorganik (terutama Kalsium Karbonat). Keporusan kulit telur memungkinkan embryo bernafas. Namun demikian daya tangkalnya cukup besar terhadap masuknya berbagai kuman, asal saja dijaga agar tetap kering. Disamping itu kulit telur mampu sampai pada batas tertentu mencegah adanya penguapan. Permukaan telur mempunyai selaput tipis disebut kutikula. Sebelah dalam kulit telur diselaputi dua helai membran, yang satu melekat pada kulit telur sedangkan yang lainnya kepada albumen, ialah pada bagian telur yang menyempit. Pada waktu isi telur mengkerut yang disebabkan oleh pendinginan dan penguapan, lembaran membran memisahkan diri satu dari yang lain dan membentuk rongga udara. Rongga ini biasanya terbentuk pada bagian telur yang besar (Dirjennak, 1984). Putih telur bagian luar dan dalam tipis dan berupa cairan Putih telur memiliki viskositas tinggi (kental) dan kokoh berbentuk kantung albumen serta mengandung zat-zat yang bersifat antimikrobial dan pH yang alkalis.


Menurut Trioso (2004), komposisi telur ayam terdiri dari 73,7 % air, 12,9 % protein, 11,2 % lemak dan 0,9 % karbohidrat, sedangkan struktur telur terdiri dari 3 komponen yaitu kulit telur (11 % dari total bobot telur ), putih telur (57 % dari total bobot telur) dan kuning telur (32 % dari total bobot telur).

Telur mempunyai protein bermutu tinggi, disamping itu telur merupakan sumber yang baik sekali dari fosfor, zat besi, Riboflavin dan vitamin A.

Pencemaran Telur Oleh Mikroorganisme

Telur merupakan bahan pangan yang mempunyai daya pengawet alamiah yang paling baik, karena memiliki suatu pelindung kimia dan fisis terhadap infeksi mikroba. Mekanisme ini sebearnya dibuat untuk melindungi embrio unggas sehingga menjamin pertumbuhannya.Tetapi bila telur retak atau pecah, perlindungan alamiah ini akan hilang dan telur akan menjadi bahan pangan yang mudah rusak seperti bahan pangan hewani lainnya.Jasad renik utama yang bertanggung jawab dalam toksiko infeksi oleh telur dan produk telur adalah Salmonella, Staphylococcus dan Arizona, dan mikroorganisme yang paling sering dijumpai adalah Staphylococcus aureus.


Biasanya isi telur yang diproduksi unggas ada dalam keadaan steril, meskipun kulitnya sedikit kotor dan bernoda tidak akan banyak terdapat organisme penyebab kerusakan padanya. Oleh sebab inilah telur yang bersih dapat disimpan dalam waktu yang lama pada suhu udara, bahkan isinya mengering tanpa memperlihatkan tanda adanya serangan mikroba. Walaupun demikian, kerusakan oleh bakteri dan jamur merupakan gejala umum untuk telur yang disimpan pada suhu udara selama beberapa minggu, atau pada penyimpanan selama beberapa bulan pada suhu cold storage. Penyebab utama kerusakan mikrobial adalah adanya pencucian telur kotor sebelum dipasarkan. Bakteri yang berhasil masuk berbiak dan akhirnya merusak, menyebabkan pembusukan hijau, hitam, merah dan lain-lain (Dirjennak, 1984).

Telur yang dibekukan dan dicairkan kembali secara umum akan mengurangi secara pasti jumlah bakteri yang terdapat di telur, tetapi sebagian besar dari mikroorganisme tahan terhadap perlakuan ini. Ada tiga golongan kadang-kadang tahan terhadap pasteurisasi dan pembekuan : Bacillus yang merupakan lebih dari 80% mikroorganisme yang tetap hidup, Alcaligenes dan Proteus. Oleh sebab itu, yang paling dominan dalam produk telur beku adalah genus Bacillus. Selain itu, genus Salmonella juga tetap tinggal hidup, terutama Salmonella oranienburg yang sering dijumpai dalam kuning telur asin. Tetapi sebaliknya, bila produk yang sama disimpan pada suhu 16º C, 25º C atau 36º C maka Salmonella akan mati.


Pada pengeringan telur dengan atomisasi (hasinya berupa tepung telur) akan menurunkan jumlah total mikroflora, karena beberapa mikroorganisme sangat peka terhadap perlakuan termik. Meskipun begitu, beberapa mikroflora yang lain relatif akan lebih tahan terhadap perlakuan panas ini. Oleh sebab itu Salmonella dan Escherichia coli akan tahan di produk telur kering yang sebelumnya tidak dipasteurisasi. Sebaliknya, Salmonella akan sangat sensitif terhadap pengeringan jika sebelumnya telah mengalami pasteurisasi (Dirjennak, 1992).

Menurut Trioso (2004), sumber pencemaran pada telur berasal dari unggas yang sakit, kloaka, als kandang/sangkar, wadah telur (peti, egg tray), debu, tanah (lingkungan), penyimpanan, sanitasi dan higiene serta pekerja.


Beberapa penyebab bakteri mencemari daging ayam dan telur (Dirjennak, 1992) adalah :

· Salmonellae dapat berasal dari ekskreta manusia maupun hewan dan air yang terkontaminasi oleh limbah. Salmonellae sering ditemukan dalam bahan makanan asal hewan, terutama daging, daging unggas dan telur, yang belum atau masih setengah masak dan disebarkan ke makanan lain melalui kontaminasi silang. Salmonella enteritidis dilaporkan sering ditemukan pada kulit telur dengan grade A. Daging unggas pada umumnya terkontaminasi Salmonella sp ketika masih di tempat pemrosesan karkas, tangan pekerja,permukaan peralatan serta pakaian pekerja

· Staphylococcus, habitat utama adalah selaput membran hidung dan kulit manusia maupun hewan. Banyak orang memiliki kebiasaan kurang baik yaitu menyentuh bagian dalam hidungnya. Tanpa disadari tindakan ini dapat memindahkan bakteri Staphylococcus ke tangan dan selanjutnya disebarkan lagi ke makanan melalui penanganan yang tidak benar. Bakteri ini dapat pula ditemukan pada luka di kulit. Melalui luka sayatan atau pori-pori, bakteri ini masuk ke bagian dalam kulit, tumbuh dan berkembang biak. Dalam kasus ini bakteri tetap dapat disebarkan walaupun tangan telah dicuci. Staphylococcus aureus diduga berasal dari tangan orang yang terlibat dalam proses produksi, pengirisan atau pengajian

· Escherichia coli seringkali diasosiasikan dengan air yang telah terkontaminasi oleh feces dan sejak lama telah diketahui menjadi penyebab diare pada anak-anak.

BIOARANG SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF PENGGANTI MINYAK TANAH YANG MURAH DAN RAMAH LINGKUNGAN


oleh Azhari Nuridinar (05163023)

Mahasiswa Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Andalas

Latar Belakang

Kelangkaan bahan bakar minyak, yang disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia yang signifikan, telah mendorong pemerintah untuk mengajak masyarakat mengatasi masalah energi bersama-sama. (Kompas, 23 Juni 2005). Kebutuhan bahan bakar bagi masyarakat yang sebagian besar dipenuhi oleh minyak tanah yang selama ini dirasakan terjangkau karena subsidi oleh pemerintah, namun demi penghematan yang dilakukan oleh pemerintah. Mengingat beban subsidi BBM yang mencapai lebih dari 60 triliyun rupiah. Maka pemerintah melakukan pencabutan atau pengurangan subsidi tersebut. Akibatnya kemampuan masyarakat untuk membeli bahan bakar minyak menjadi menurun dan bahkan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan lainnya pun masyarakat mengalami kesulitan akibat dampak dari pengurangan subsidi BBM yang mengakibatkan kenaikan harga kebutuhan pokok lainnya.

Minyak merupakan sumber energi utama di Indonesia. Konsumsi minyak tanah masyarakat mencapai 2,7 juta kiloliter pertahunnya Pemakaiannya terus meningkat baik untuk komoditas ekspor yang menghasilkan devisa maupun untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri. Sementara cadangannya terbatas sehingga pengelolaannya harus dilakukan seefisien mungkin. Karena itu, ketergantungan akan minyak bumi untuk jangka panjang tidak dapat dipertahankan lagi sehingga perlu ditingkatkan pemanfaatan energi alternatif. Energi alternatif adalah energi yang pada umumnya sumber daya nonfosil yang dapat diperbarui atau bisa dikelola dengan baik, maka sumber dayanya tidak akan habis.

Bioarang merupakan salah satu energi alternatif yang dapat dikembangkan sebagai bahan bakar yang murah dan ramah lingkungan. Bahan baku dalam pembuatan Bioarang sangat mudah didapat karena berasal dari bahan organik yang ada disekitar kita, Bahan dasarnya dapat berupa limbah organik; kayu-kayu sisa, daun-daun kering, makanan sisa, kertas dan kotoran ternak. Dengan memanfaatkan limbah organik dan kotoran ternak, hal ini tentunya dapat mengatasi masalah limbah yang selama ini menjadi polemik di masyarakat. Dengan teknologi tepat guna yang relatif lebih sederhana, bioarang bisa dibuat dengan memproses limbah organik atau biomassa dalam pembakaran udara terbatas yang disebut sistem pirolisis. Teknologi sederhana ini bisa diterapkan secara luas oleh masyarakat untuk membuat sendiri bahan bakar guna memenuhi kebutuhan mereka. Sehingga masyarakat tidak terlalu bergantung akan minyak tanah dan tidak melakukan pengrusakan hutan dengan menebang pohon utuk dijadikan kayu bakar.

Berdasarkan permasalahan tersebut maka penulis menganggap bahwa pemanfaatan bioarang perlu ditingkatkan efektivitasnya. Perkembangan teknologi saat ini memberi peluang untuk dapat mengembangkan energi alternatif yang sudah ada menjadi lebih baik. Rumusan masalah yang penulis coba ajukan yaitu seberapa besarkah potensi bioarang sebagai energi alternatif pengganti minyak tanah dan bagaimana potensi bioarang dalam mengatasi masalah lingkungan yang di timbulkan oleh limbah organik.

I.2 Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan permasalahan tersebut maka penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk :

  1. Mengetahui sejauh mana bioarang sebagai sumber energi alternatif pengganti minyak tanah.
  2. Memperoleh gambaran efisiensi bioarang sebagai energi alternatif yang murah dan ramah lingkungan.
  3. Mengetahui pemanfaatan limbah dan kotoran ternak sebagai sumber energi pembuatan bioarang.

Hasil penulisan karya ilmiah ini diharapkan bermanfaat untuk :

  1. Mengurangi ketergantungan masyarakat dalam pemakaian dan penghematan bahan bakar minyak tanah dengan beralih pada bioarang.
  2. Mengatasi masalah pencemaran lingkungan akibat limbah dan kotoran ternak dengan mengubahnya menjadi bioarang.
  3. Mengoptimalkan pemanfaatan limbah dan kotoran ternak sebagai sumber energi bioarang.
  4. Memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah dalam usaha pencarian sumber energi alternatif yang murah dan ramah lingkungan., dan menumbuhkan kesadaran dalam memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana.

TELAAH PUSTAKA

Minyak Tanah dan Kelangkaannya

Minyak adalah istilah umum untuk semua cairan organik yang tidak larut/bercampur dalam air. Minyak bumi merupakan campuran berbagai macam zat organik, tetapi komponen pokoknya adalah hidrokarbon (Wikipedia Indonesia, 2005). Minyak tanah, solar, bensin, avtur (bahan bakar pesawat) merupakan produk minyak bumi yang berintikan hidrokarbon (tersusun atas atom hidrogen dan karbon) serta sejumlah zat lain, seperti nitrogen, oksigen, sulfur, dan sejumlah kecil unsur logam. Produk-produk minyak bumi tersebut dipisahkan dengan cara distilasi. Temperatur distilasi akan menentukan produk yang dihasilkan dari minyak bumi. Minyak tanah (light kerosene) memiliki rentang rantai karbon dari C10 - C15, sedangkan solar antara C10 - C20 (sumber: Wikipedia). Perbedaan minyak tanah dengan kerosene untuk bahan bakar adalah bahwa pada minyak tanah masih terdapat banyak unsur pengotor, baik skala molekuler ataupun partikel (debris). Dengan kata lain, minyak tanah adalah kerosene dengan mutu rendah.

Minyak bumi disebut juga minyak mineral karena diperoleh dalam bentuk campuran dengan mineral lain. Minyak bumi tidak dihasilkan dan didapat secara langsung dari hewan atau tumbuhan, melainkan dari fosil. Karena itu, minyak bumi dikatakan sebagai salah satu dari bahan bakar fosil. Beberapa ilmuwan menyatakan bahwa minyak bumi merupakan zat abiotik, yang berarti zat ini tidak berasal dari fosil tetapi merupakan zat anorganik yang dihasilkan secara alami di dalam bumi. Namun, pandangan ini diragukan secara ilmiah karena hanya memiliki sedikit bukti yang mendukung. Minyak tanah merupakan salah satu dari jenis minyak bumi yang mengalami kelangkaan.

Saat ini dunia sangat bergantung kepada minyak bumi sebagai sumber energi. Namun, minyak bumi ini adalah sumber energi yang tak dapat diperbaharui. Sedikit yang membantah bahwa minyak bumi suatu saat akan habis dan manusia akan terpaksa beralih ke jenis energi lainnya. Yang menjadi masalah kini bukanlah apakah minyak akan habis, tetapi kapan minyak akan habis. Ini adalah yang kita sebut sebagai krisis minyak dunia.

Menurut publikasi yang berjudul “Statistical Review of World Energy 2005″, produksi minyak tertinggi Indonesia terjadi pada tahun 1977, dengan rata-rata sebesar 1685 ribu barrel/hari. Setelah itu, produksi minyak Indonesia tidak pernah lagi mencapai angka tersebut. Pada tahun 2004, produksi minyak Indonesia hanyalah sebesar 1126 ribu barrel/hari. Angka ini sudah berada di bawah konsumsi BBM Indonesia yang jumlahnya sebesar 1150 ribu barrel/hari. Cadangan minyak Indonesia yang dapat dibuktikan keberadaannya hanyalah sekitar 4.7 miliar barrel.

Pada tahun 2004, Kelompok Kerja Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (Pokja PA-PSDA) dan Koalisi Ornop Energi mengatakan bahwa minyak bumi Indonesia akan habis dalam waktu 15-20 tahun, gas alam dalam waktu 35-40 tahun dan batubara dalam waktu 60-75 tahun. Indonesia dalam penyusunan APBN 2005 mengalokasikan dana untuk subsidi BBM sebesar Rp 90 triliun, dengan perhitungan harga minyak di pasaran dunia 35 dollar AS perbarel. Namun, kondisi sekarang harga minyak di pasaran dunia mencapai 60 dollar AS per-barel, sehingga akan sangat mempengaruhi subsidi keuangan negara.

Jadi di sini jelas sekali permasalahan yang dihadapi yaitu kelangkaan minyak bumi yang salah satunya adalah minyak tanah karena ketersediaannya terbatas, tidak bisa diperbaharui dan harganya yang semakin naik apalagi pasca kenaikan BBM per Oktober 2005 lalu. Maka perlunya dicari energi alternatif yang dapat mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap minyak tanah.

Limbah Organik dan Permasalahannya

Sampah merupakan buangan sisa-sisa material yang tidak dimanfaatkan lagi karena dinilai tidak berguna dan tidak sesuai dari fungsi awalnya (Farida, 2000). Bila melihat dari segi komposisi kandungan limbah, ternyata limbah memiliki potensi luar biasa. Kandungan materi dan komposisi limbah terdiri dari sejumlah mikroorganisme bermanfaat, bahan organik dan anorganik. Kedua elemen tersebut telah terbukti memberikan manfaat cukup besar bagi kehidupan manusia.

Mikroorganisme pengurai limbah pada umumnya merupakan kelompok bakteri heterotrof. Bakteri jenis ini memanfaatkan limbah-limbah organik atau sisa makhluk hidup sebagai sumber energinya. Bakteri yang sering dijumpai dalam limbah antara lain bakteri nitrit (Nitrosococcus), bakteri nitrat (Nitrobacter), Clostridium, dan sebagainya. (Hermin, 2004). Bakteri Clostridium merupakan mikroorganisme pembusuk utama, berperan dalam menguraikan asam amino dalam protein makhluk hidup, baik dari limbah tumbuhan maupun limbah hewan menjadi suatu senyawa amoniak. Senyawa inilah yang menyebabkan timbulnya bau tidak sedap pada limbah. Limbah bukan objek yang perlu didakwa sebagai sumber masalah, menjijikkan, sumber bencana, bau, polusi atau tetek-bengek lainnya. Alangkah bijaksananya bila kita menyadari, limbah merupakan bagian realita hidup yang harus dihadapi.

Limbah dapat berupa kotoran ternak bahkan tinja manusia, sisa-sisa panenan seperti jerami, sekam dan daun-daunan sortiran sayur dan sebagainya. Namun, sebagian besar terdiri atas kotoran ternak Limbah ternak merupakan sumber limbah organik yang potensial untuk dikembangkan menjadi bioarang. Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan produk ternak, dan lain-lain. Limbah tersebut meliputi limbah padat dan limbah cair seperti feses, urine, sisa makanan, embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu, kuku, tulang, tanduk, isi rumen, dan lain-lain (Sihombing, 2000). Semakin berkembangnya usaha peternakan, limbah yang dihasilkan semakin meningkat. Total limbah yang dihasilkan peternakan tergantung dari species ternak, besar usaha, tipe usaha dan lantai kandang. Manure yang terdiri dari feces dan urine merupakan limbah ternak yang terbanyak dihasilkan dan sebagian besar manure dihasilkan oleh ternak ruminansia seperti sapi, kerbau kambing, dan domba. Umumnya setiap kilogram susu yang dihasilkan ternak perah menghasilkan 2 kg limbah padat (feses), dan setiap kilogram daging sapi menghasilkan 25 kg feses (Sihombing, 2000). Pada peternakan di Amerika Serikat, limbah dalam bentuk feses yang dihasilkan tidak kurang dari 1.7 milyar ton per tahun, atau 100 juta ton feces dihasilkan dari 25 juta ekor sapi yang digemukkan per tahun dan seekor sapi dengan berat 454 kg menghasilkan kurang lebih 30 kg feses dan urine per hari.

Kehadiran limbah ternak dalam keadaan kering dapat menimbulkan pencemaran yaitu dengan menimbulkan debu. Pencemaran udara di lingkungan penggemukan sapi yang paling hebat ialah sekitar pukul 18.00, kandungan debu pada saat tersebut lebih dari 6000 mg/m3, jadi sudah melewati ambang batas yang dapat ditolelir untuk kesegaran udara di lingkungan (3000 mg/m3) (Lingaiah dan Rajasekaran, 1986). Tinja dan urine dari hewan yang tertular dapat sebagai sarana penularan penyakit, misalnya saja penyakit anthrax melalui kulit manusia yang terluka atau tergores.

Menurut Lingaiah dan Rajasekaran (1986), Permasalahan limbah ternak, khususnya manure dapat diatasi dengan memanfaatkan menjadi bahan yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Salah satu bentuk pengolahan yang dapat dilakukan adalah menggunakan limbah tersebut sebagai bahan masukan untuk menghasilkan bahan bakar bioarang. Kotoran ternak ruminansia sangat baik untuk digunakan sebagai bahan dasar pembuatan bioarang. Oleh karena pada tinja ternak ruminansia, khususnya sapi mempunyai kandungan selulosa yang cukup tinggi. Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa tinja sapi mengandung 22.59% sellulosa, 18.32% hemi-sellulosa, 10.20% lignin, 34.72% total karbon organik, 1.26% total nitrogen, 27.56:1 ratio C:N, 0.73% P, dan 0.68% K. Kandungan karbon organik yang cukup besar yakni 34.72% sangat baik digunakan untuk pembuatan bioarang. Keberadaan sampah dan limbah yang ada disekitar kita merupakan bagian realita hidup yang harus dihadapi. Pemecahan masalah yang pernah dilakukan oleh banyak ahli untuk mengatasi masalah sampah ini sering kali ,menghasilkan masalah baru. Misalnya tumpukan sampah yang ada dikota-kota besar, ditempatkan pada tempat pembuangan akhir (TPA) yang berada dipelosok daerah. Besarnya volume sampah yang ditumpuk, mengakibatkan sampah dan limbah tersebut menumpuk dan menggunung. Tumpukan sampah yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya longsor sampah.Gunungan sampah ini sangat berbahaya bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan tersebut. Usaha yang pernah dilakukan untuk mengatasi sampah ini dengan mengolah sampah menjadi produk daur ulang dan pupuk organik, namun usaha tersebut belum optimal karena keterbatasan tempat untuk pengolahannya. Seperti pada gambar berikut;


Manfaat yang diperoleh dengan pengelolaan sampah yaitu ; penghematan sumber daya alam, penghematan energi, penghematan lahan TPA, dan menciptakan lingkungan yang asri ( bersih, sehan dan nyaman). Solusi yang tepat untuk mengatasi masalah sampah ini adalah dengan mengolah sampah dan limbah organik lainnya menjadi bioarang. Bioarang menjadi sumber energi yang layak untuk dikembangkan dan sisa pembakaran bioarang dapat digunakan sebagai abu gosok, kompos, bahan pembuatan telur asin, atau campuran pembuatan batako. Jadi bioarang selain dapat menjadi sumber energi alternatif yang murah dan ramah lingkungan juga memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi.

Bioarang dan Pemanfaatannya

Bioarang adalah arang yang diperoleh dari pembakaran biomassa kering dengan sistem tanpa udara (pirolisis). Adapun biomassa adalah bahan organik yang berasal dari jasad hidup, baik hewan maupun tumbuh-tumbuhan (Setiawan, 1996). Pirolisis merupakan pembakaran atau pengarangan dengan menggunakan udara terbatas. Pada proses pembakaran terbuka di mana unsur oksigen (O2) terlalu banyak, sisa pembakaran bukan menghasilkan arang, melainkan abu. Pada pembakaran terbuka unsur karbon (C) tidak terikat. Proses pembakaran dengan teknik pembakaran terkendali, di mana oksigen (O­­2) dibatasi. Kayu atau materi yang dibakar tidak akan langsung luruh menjadi abu. Pembakaran akan menghasilkan kristal arang hitam dengan unsur karbon (C) tinggi. Kristal arang hitam pekat inilah yang kemudian lebih dipadatkan lagi dengan bentuk briket bioarang sehingga bisa menghasilkan bara api yang lebih kuat dan tahan lama.

Proses pembakaran pirolisis ini dapat dilakukan dengan menggunakan tanur sebagai pembakarannya, namun harga tanur tersebut dinilai cukup mahal di pedesaan. Oleh karena itu, pembuatan bioarang ini sebaiknya dilakukan dangan produksi skala besar guna menekan biaya produksi. Pembakaran dengan menggunakan tanur dilakukan selama kurang lebih satu jam atau tergantung dengan kadar air yang dikandung oleh bahan yang di pakai. Selain tanur, masyarakat pedesaaanpun bisa membuat pembakaran pirolisis secara sederhana yaitu dengan menggunakan drum bekas atau pipa besi yang besar diameternya. Drum atau pipa tersebut di buka pada satu sisi yang digunakan untuk memasukan atau mengeluarkan bahan, lalu pada sisi terbuka tersebut ditutup dengan rapat pada saat pembakaran dan hanya menyisakan lubang kecil untuk saluran pengeluaran asap dari dalam drum atau pipa. Alat pembakaran pirolisis ini dapat digunakan dengan mudah oleh masyarakat untuk membuat bioarang.

Penggunaan bioarang berbahan baku sampah organik ini dinilai sangat ekonomis. Bahan bakunya bisa disebut sangat berlimpah, yakni sampah-sampah organik yang selalu bertumpuk dengan volume yang terus bertambah. Kita tidak perlu membeli bahan baku sehingga biaya produksi untuk bahan baku sama dengan nol rupiah. Biaya yang diperlukan untuk produksi bioarang terdapat pada biaya penyediaan tempat pembakaran pirolisis yakni tanur atau drum bekas, selain itu biaya tenaga kerja dan transportasi pengangkutan limbah saja yang perlu diperhitungkan. Untuk pemasaran saat ini masih terkendala, hal ini disebabkan belum begitu dikenalnya bioarang sebagai bahan bakar oleh masyarakat. Tapi dengan usaha sosialisasi yang dilakukan, masalah tersebut bisa diatasi misalnya yang dilakukan oleh Ujang Sholikin di Ciamis. Beliau merupakan salah satu produsen bioarang dari limbah organik yang suskes memasarkan produknya.

Patokan harga bioarang perkilogramnya masih bervariasi sesuai dengan besarnya biaya pokok produksi dan keuntungan yang ingin diperoleh. Pada umumnya harga bioarang dipatok sebesar Rp.1300,00 hingga Rp.1900,00. Harga bisa ditekan lebih rendah lagi, jika produksinya bisa massal dan skala besar. Harga ini tentunya memiliki nilai ekonomi yang sangat bagus sehingga pantas untuk dikembangkan. Dan juga dapat menyerap tenaga kerja yang cukup banyak. Jadi dapat mengatasi masalah kesejahteraan dan pengangguran.

Nilai efisiensi 1 kilogram bioarang setara dengan 1,5 liter minyak tanah. Dengan asumsi 1 liter minyak tanah bisa digunakan untuk memasak selama dua jam, sedangkan 1 kilogram bioarang bisa tahan selama 4 – 6 jam. Kalori yang dihasilkan juga cukup tinggi, yakni mencapai lebih dari 6400 kkal/kg. Seperti tabel 1

Tabel 1. Parameter antara minyak tanah dengan bioarang

No

Parameter

Minyak tanah

Bioarang

1

2

3

4

Nilai ekivalen

Memasak selama

Nilai kalori

Harga .

1,5 liter

2 jam

9000 kkal/liter

Rp. 2500,00

1 kilogram

4–6 jam

6400 kkal/kg

Rp.1300,00 -

Nilai konversi bioarang mencapai 10 persen. Artinya, dari bahan 10 – 15 kg sampah organik bisa menghasilkan sekitar 1 – 1,5 kilogram bioarang, bergantung pada jenis sampahnya Makin tinggi kadar air sampah maka makin rendah nilai konversinya menjadi bioarang. Sisa abu pembakaran bioarang dapat digunakan untuk keperluan lain, seperti untuk mencuci piring, abu gosok, kompos, bahan pembuatan telur asin, dan campuran pembuatan batako. Abu sisa pembakaran bioarang memiliki daya rekat yang baik dan teksturnya halus sehingga bisa digunakan untuk bahan campuran pembuatan batako.

Saat ini, produksi bioarang yang dikerjakan pada umumnya masih berskala riset, belum begitu dikomersialkan. Dengan kondisi masyarakat yang masih serba sulit di satu sisi, sementara di sisi lain, sampah begitu menumpuk dan terus bertambah volumenya. Maka optimistis bahwa pengembangan bioarang sebagai sumber bahan bakar alternatif sangat prospektif, baik secara bisnis maupun sebagai sumber bahan bakar alternatif pengganti minyak tanah. Dengan memanfaatkan sampah untuk bahan bakar berarti ikut menyelesaikan masalah sampah dan kelangkaan minyak sekaligus.


METODE PENULISAN

Lokasi dan Waktu Studi

Studi ini dilakukan di Perpustakaan Pusat Universitas Andalas, Perpustakaan Fakultas Peternakan, Unit Pelaksanaan Teknis Fakultas Peternakan, serta penelusuran informasi dengan media internet pada tanggal 27 Februari 2007 sampai 14 Maret 2007.

Jenis Penulisan

Penulisan karya ilmiah ini menggunakan metode penulisan secara deskriptif. Data yang digunakan dalam karya ilmiah diperoleh lewat studi kepustakaan yaitu literatur dan hasil-hasil ulasan atau hasil-hasil penelitian di internet.

Analisis Data

Informasi atau data dari literatur, informasi dari internet dan pengamatan langsung di lapangan diolah untuk merumuskan permasalahan-permasalahan yang ada mengenai sumber energi alternatif yang merupakan dampak dari kelangkaan dan pengurangan subsidi bahan bakar minyak terutama minyak tanah yang berimbas pada masyarakat. Dengan menawarkan bioarang sebagai energi alternatif tersebut untuk dikembangkan didaerah pedesaan dan dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat maka analisis dilakukan untuk mengetahui dan mengkaji kelemahan-kelemahan yang ada kemudian dianalisis juga relevansinya dengan penelitian-penelitian terbaru dari internet. Hasil analisis ialah berupa konsep baru yang dianggap mampu memberikan tingkat keberhasilan dan pemanfaatan yang lebih baik dari sebelumnya.

PEMBAHASAN

Analisis Permasalahan

Kebutuhan akan energi tidak bisa lepas dari manusia. Sumber energi utama masyarakat adalah minyak tanah untuk keperluan memasak sangat tinggi, hal ini disebabkan harga minyak tanah cukup terjangkau oleh masyarakat. Harga yang murah tersebut merupakan subsidi pemerintah demi kesejahteraan masyarakat. Namun sejak kenaikan harga BBM per Oktober 2005 lalu, kemampuan masyarakat dalam membeli minyak tanah semakin melemah. Pencabutan subsidi bahan bakar minyak di satu sisi merupakan musibah karena akan menaikkan biaya produksi. Namun, di sisi lain menjadi berkah karena akan menghidupkan kembali upaya mencari sumber energi alternatif yang terbarukan.

Pada daerah pedesaan, masyarakat kembali menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak, dan bagi meraka yang tinggal di dekat kawasan hutan berusaha mencari kayu bakar, baik dari ranting-ranting kering dan tidak jarang pula menebangi pohon-pohon di hutan yang terlarang untuk ditebangi, sehingga lambat laun mengancam kelestarian alam di sekitar kawasan hutan.

Di lain sisi, pencemaran lingkungan yang semakin mengkhawatirkan perlu segera diatasi. sampah dan limbah ternak merupakan salah satunya. Tumpukan sampah setiap harinya semakin bertambah, bahkan menggunung. Dampak yang dapat ditimbulkan oleh limbah seperti gangguan kesehatan, pencemaran udara dan limbah yang menggunung dapat menyebabkan longsor yang membahayakan manusia. Hal yang perlu dikembangkan dalam setiap insani anggota masyarakat adalah bagaimana caranya menjadikan limbah sebagai objek yang memberikan manfaat bagi manusia dan lingkungannya?

Alternatif Pemecahan Masalah

Dari analisis masalah yang ada, perlunya pencarian sumber energi alternatif yang dapat mensubtitusi minyak tanah dengan sumber energi alternatif yang murah dan ramah lingkungan. Saat ini telah banyak penelitian yang dilakukan untuk mencari energi alternatif dan sudah mulai untuk di kembangkan namun belum mendapat respon yang memuaskan dari masyarakat, mungkin hal ini disebabkan kurang informasi yang diterima oleh masyarakat akan keberadaan dan pemanfaatan energi tersebut dan atau kemungkinan sikap defensif atau pola sikap enggan masyarakat menerima bioarang yang disebabkan faktor “kemanjaan” masyarakat yang sudah terbiasa dengan minyak tanah, karena relatif mudah pemakaiannya.

Pemecahan masalah yang dapat dilakukan saat ini adalah :

  1. Menemukan metode pemanfaatan bioarang yang murah dan mudah penggunaanya.
  2. Menemukan teknologi sederhana yang aplikatif dan efektif dalam memproduksi bioarang secara massal.

Dengan mengatasi permasalahan lewat alternatif solusi tersebut diharapkan dapat mengurangi ketergantungan masyarakat dalam menggunakan minyak tanah dan beralih pada bioarang. Walaupun disadari bahwa penggunaan bahan bakar biologi tidak dapat mengganti sepenuhnya bahan bakar fosil karena luas lahan tidak cukup tersedia. Namun, konversi bioarang dari berbagai sumber (termasuk limbah) dapat menjadi sumber energi alternatif sehingga akan mengurangi ketergantungan pada minyak. Tantangan saintis tidak hanya menemukan cara baru menghasilkan bahan bakar yang bermanfaat tetapi juga membantu politisi agar membuat kebijakan bahan bakar yang berbiaya rendah.

Pemecahan Masalah

1. Proses Pembuatan Bioarang

Bahan baku

Kotoran ternak, tempurung kelapa, kulit padi (sekam), eceng gondok, serbuk gergaji, daun-daunan kering, limbah organik, limbah pasar, kulit kopi, teh, tebu, dan lain-lain.

Proses Pembuatan

    1. Limbah organik dikumpulkan.
    2. Dimasukan ke dalam tanur untuk dibakar menjadi arang dengan teknik pembakaran dengan udara terbatas (pirolisis), selama satu jam.. Pembakaran berakhir dengan ditandai dengan habisnya asap hitam.
    3. Didinginkan dengan cara khusus sampai api padam (biasanya disemprot dengan air secukupnya). Dikeringkan untuk beberapa saat.
    4. Dimasukan arang ke mesin penggiling atau ditumbuk sampai halus.
    5. Hasil tumbukan diayak.
    6. Arang hasil ayakan diaduk (mixer) dengan komposisi air yang tepat, dapat digunakan tepung tapioka atau tanah liat agar mudah dibentuk.
    7. Dicetak dan dipres agar padat dan keras.
    8. Dikeringkan dengan cara dijemur atau di oven.
    9. Packaging dan siap pakai.

2. Kompor/Tungku bioarang

Penggunaan bioarang harus dilengkapi dan disiapkan kompor atau tungku, jenis dan ukuran kompor/tungku harus disesuaikan dengan kebutuhan. Peralatan tungku yang digunakan untuk keperluan bahan bakar bioarang relatif lebih murah dan lebih mudah dalam perawatannya. Jenis tungku yang digunakan terbuat dari tanah liat yang dibentuk sedemikian rupa. Biasanya berbentuk kubah dengan atap terbuka dan terdapat bagian sisi yang terbuka untuk tempat memasukan bioarang dan bisa di buka tutup. Jenis tungku ini sudah dikenal sejak lama dalam masyarakat tradisional Indonesia. Persyaratan Kompor/tungku harus memiliki :

a. Ada ruang bakar untuk bioarang.

b. Adanya aliran udara (oksigen) dari lubang bawah menuju lubang atas dengan melewati ruang bakar briket yang terdiri dari aliran udara primer dan sekunder
c. Ada ruang untuk menampung abu briket yang terletak di bawah ruang bakar briket.

3. Keunggulan Bioarang

Adapun keunggulan yang terdapat pada bioarang antara lain :

  1. Cara pembuatan bioarang ini relatif mudah, murah dan dalam waktu singkat.
  2. Panas yang tinggi, kontinyu dan stabil sehingga sangat baik untuk pembakaran yang lama.
  3. Tidak beresiko meledak seperti gas dan minyak tanah meleduk.
  4. Tidak mengeluarkan suara bising serta tidak berjelaga.
  5. Volume asap yang dikeluarkan briket sampah sedikit.
  6. Sumber berlimpah dan dapat diproduksi secara massal dalam waktu singkat.
  7. Bioarang lebih aman bagi kesehatan. Bioarang tidak menghasilkan emisi karbonmonosida(CO), Nitromonoksida (NO), atau sulfur (SO) saat dibakar karena tidak berbasis fosil. Bandingkan dengan batubara yang mengeluarkan emisi CO sekitar 106 ppm selama 2 – 3 jam pembakaran
  8. Pembuatan bioarang dengan bahan baku limbah organik dalam skala besar mampu mengatasi masalah pencemaran lingkungan.
  9. Pemakaian bioarang sangat mudah dan bentuknya bisa di cetak seragam.
  10. Bioarang lebih mudah dihidupkan/dibakar dan dipadamkan.
  11. Energi yang dihasilkan cukup tinggi dan pengunaannya dapat dikontrol.

Dari segi aroma, briket sampah tidak jauh berbeda dengan bau khas arang yang dibakar. Bahkan masyarakat daerah tertentu, seperti masyarakat pedesaan lebih menyukai menggunakan bahan bakar nonminyak dengan alasan perbedaan rasa dan aroma. Secara ekonomi pun bioarang memiliki keunggulan yang lebih jika dibandingkan dengan jenis bahan bakar. Dengan asumsi memasak selama dua jam maka di dapat perbandingan beberapa jenis bahan bakar seperti tabel. 2 berikut ;

Tabel 2. Perbandingan nilai ekonomis beberapa jenis bahan bakar

No

Jenis Bahan Bakar

2 Jam Memasak

Harga Bahan Bakar

Keterangan

1

Minyak tanah

1 liter

Rp. 2500,-

(harga kompor Rp.20.000–Rp.100.000,-)

2

Bioarang

0,5 kg

Rp. 650,-
(harga kompor Rp.25.000–Rp.130.000,-)

3

Biogas

20 kg

Rp. 0,-

berasal dari kotoran sapi, harga reaktornya Rp.1.500.000,- 

4

Briket batubara

1,8 kg briket

Rp. 1620,-
(harga kompor Rp.30.000–Rp.200.000)

5

Gas kota

1 kW*2h = 4,2 kWh

0,23 Euro

(Rp.2747)

kondisi Jerman, asumsi: 
1 Euro =Rp.12.000,-
harga gas 5,45 ct/kWh, 
1kWh listrik = 1,4 kWh energi gas

6

Biomassa Kayu ”kampung"

2 ikat

Rp. 2400,-

7

Kayu ”bekas bangunan"

1,5 kg

Rp. 2250,-

8

Blotong

1/60 dari 1 bak

Rp. 833,-

sampah produksi di pabrik gula, dijual per 1 truk mini seharga Rp. 50.000,-

9

Listrik

1200 W*2h = 2,4 kWh

0,38 Euro

(Rp.4.596,-)

harga listrik 15,96 ct/kWh

kondisi Jerman, asumsi: 1Euro=Rp.12.000,-

10

Gas- Elpiji

1,2 kg

Rp.7.000,-

asumsi harga per Tabung Rp.70.000,-

asumsi : 12 kg gas elpiji untuk 2 jam memasak terpakai habis dalam 10 hari

                         
 
Terlihat dari tabel di atas untuk kasus di Indonesia dilihat dari nilai ekonomis, bahan bakar bioarang dan biogas paling murah, dan elpiji paling mahal. Hal penting disimak adalah anggapan tidak benar bahwa memasak dengan kayu pada harga sekarang lebih murah dibandingkan dengan minyak tanah pada harga dasar pemerintah.
Karena memasak dengan 1 liter minyak tanah sama dengan memasak dengan 2 ikat kayu kampung. Bila asumsi untuk memasak selama 2 jam dibutuhkan 1,2 kg gas elpiji, maka harga memasak dengan elpiji di Indonesia lebih mahal dari memasak pakai listrik atau gas kota di Jerman di atas satu pelat/sumber panas. Sedangkan memasak dengan menggunakan bioarang selama dua jam yang hanya menghabiskan 0,5 kg bioarang dengan asumsi harga Rp. 1.300,00 per kilogram.
 

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan

a. Bioarang bisa digunakan sebagai sumber bahan bakar alternatif pengganti minyak tanah.

b. Harga pasaran bioarang untuk masyarakat lebih murah dibandingkan dengan minyak tanah dan jenis bahan bakar lainnya.

c. Bahan pembuatan bioarang dengan menggunakan limbah organik yang berlimpah dapat mengatasi masalah pencemaran lingkungan dan ramah lingkungan.

d. Secara ekonomis, bioarang memiliki potensi bisnis yang sangat menguntungkan dan dapat mensejahterakan masyarakat.

e. Konversi bioarang dari berbagai sumber (termasuk limbah ternak dan sampah) dapat menjadi sumber energi alternatif sehingga akan mengurangi ketergantungan masyarakat pada minyak

f. Peranan pemerintah cukup besar dalam upaya membantu produsen dalam meningkatkan produksi bioarang dan sosialisasi penggunan bioarang kepada masyarakat.

V.2 Saran

Saran yang dapat diberikan oleh penulis, yaitu potensi bioarang sebagai sumber bahan bakar sangat potensial maka tindak lanjut dan pengembangan bioarang sebagai energi bahan bakar perlu ditingkatkan lagi. Masih perlunya penelitian yang lebih lanjut tentang bioarang antaranya; kandungan bahan kimia yang terdapat pada bioarang, upaya meningkatkan energi yang dihasilkan serta subtitusi bioarang terhadap kebutuhan energi lainnya.

ANALISIS POTENSI PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI –KELAPA SAWIT (SISKA) DI KABUPATEN DHARMASRAYA

oleh : Azhari Nuridinar

Mahasiswa Teknologi Hasil Ternak Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Andalas

ABSTRAK :

Kegiatan ini menggambarkan pada aktifitas petani sawit di Kabupaten Dharmasraya yang menggunakan pestisida sebagai bahan pembasmi rumput hama dan gulma. Meskipun terdapat dampak yang tidak baik bagi manusia dan lingkungan, pestisida, termasuk herbisida, seringkali digunakan di perkebunan-perkebunan kelapa sawit. Perkebunan sawit merupakan sebagai usaha utama masyarakat disana dengan luas lahan mencapai 76.163 hektar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana potensi penerapan sistem integrasi sapi – kelapa sawit di Kabupaten Dharmasraya guna mengurangi pengunaan pestisida. Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan evaluasi dan pembanding penerapan integrasi sapi-sawit guna mengatasi masalah pencemaran lingkungan akibat limbah pengolahan sawit dengan mengolah menjadi pakan ternak. Data yang diperoleh dianalisis dan dikaji dengan menggunakan metode SWOT. Hasil analisis diperoleh gambaran bahwa Kabupaten Dharmasraya memiliki potensi penerapan sistem integrasi sapi-sawit.

Kata Kunci: Pestisida, sapi potong, integrasi, kelapa sawit

PENDAHULUAN

Melihat potensi Sumatera Barat khususnya Kabupaten Dharmasraya merupakan daerah perkebunan sawit dengan luas mencapai 76.163 hektar. Potensi kebun sawit ini belum termanfaatkan dengan optimal oleh masyarakat, selama ini produk yang mempunyai nilai hanya pada tandan buah saja sedangkan hasil ikutan berupa rumput, pelapah dan limbah hasil olahan tidak dimanfaatkan. Padahal hasil ikutan dari rumput, daun dan pelapah dengan lahan seluas 5 ha mampu menampung 23 unit ternak dewasa. Selain itu dapat mengurangi penggunaan pestisida pembasmi gulma dan penggunaan pupuk buatan serta pemanfaatan limbah pabrik hasil perkebunan sawit. Dengan penerapan Sistem Integrasi sapi – Kelapa Sawit (SISKA) memberikan dampak yang sangat besar, terutama dalam memperbaiki manajemen pengelolaan perkebunan kelapa sawit dan pengelolaan sapi yang efektif bagi peningkatan produktivitas.

Melalui SISKA suplai tandan buah segar (TBS) untuk pabrik kelapa sawit dan pakan ternak sapi dapat berkelanjutan, pendapatan pemanen meningkat serta terjadi efisiensi biaya perusahaan. Disisi lain dengan adanya SISKA terbuka peluang pengembangan agribisnis ternak sapi. Perkebunan kelapa sawit dapat menjadi sentra bibit sapi dan industri daging. Dalam jangka panjang hal ini akan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap import daging dan sapi bakalan terutama dari Negara Australia. Pengembangan SISKA juga akan memberikan peluang untuk terciptanya lapangan kerja, meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) serta menjaga pelestarian lingkungan dengan cara pemanfaatan limbah pabrik secara optimal.

Sedangkan pemilikan sapi potong masih kecil dan disertai dengan pola pemeliharaan yang belum intensif menyebabkan tingkat produktifitas sapi potong masih rendah. Sementara dilain sisi permintaan pasar akan produk peternakan terus meningkat sejalan dengan pertambahan populasi penduduk dan semakin tingginya kesadaran masyarakat akan pentingnya produk peternakan.

Dilihat dari potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan peluang pasar lokal yang sangat terbuka maka Kabupaten Dharmasraya sangat berpeluang untuk mengembangkan usaha peternakan sapi potong. Salah satu upaya untuk dapat meningkatkan produktifitas sapi potong tersebut adalah dengan menerapkan pola integrasi sapi potong dengan kelapa sawit. Sumber daya alam yang belum dimanfaatkan secara optimal dan tersedia sepanjang tahun adalah sumber pakan alternatif asal perkebunan kelapa sawit. Pada tulisan ini akan diuraikan potensi perkebunan kelapa sawit yang tersedia untuk dapat dipergunakan sebagai landasan untuk mengurangi penggunaan pestisida oleh petani sawit sekaligus untuk mengembangkan usaha sapi potong lokal.

Kelapa sawit adalah tanaman perkebunan/industri berupa pohon batang lurus dari famili Palmae. Tanaman tropis ini dikenal sebagai penghasil minyak sayur yang berasal dari Amerika. Brazil dipercaya sebagai tempat di mana pertama kali kelapa sawit tumbuh. Dari tempat asalnya, tanaman ini menyebar ke Afrika, Amerika Equatorial, Asia Tenggara, dan Pasifik Selatan. Benih kelapa sawit pertama kali yang ditanam di Indonesia pada tahun 1984 berasal dari Mauritius, Afrika. Perkebunan kelapa sawit pertama dibangun di Tanahitam, Hulu Sumatera Utara oleh Schadt (Jerman) pada tahun 1911.

Kelapa sawit (Elaeis Guineensis Jacq) sangat penting artinya bagi Indonesia dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini sebagai komoditi andalan untuk ekspor maupun komoditi yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan harkat petani perkebunan serta transmigrasi Indonesia (Lubis A.U.1992). Kebutuhan minyak sawit dunia tahun 2003-2007 mencapai 21,4 persen dari total konsumsi minyak nabati dunia sebesar 118.06 juta ton, atau sekitar 25,26 juta ton (Damanhuri, 1999). Tingginya permintaan dunia akan minyak sawit setiap tahunnya meningkat rata-rata 6,5 persen.

Produk utama ekstraksi buah kelapa sawit adalah minyak sawit (crude palm oil, CPO), sementara hasil ikutannya adalah tandan kosong, serat perasan, lumpur sawit/solid, dan bungkil inti kelapa sawit. Liwang (2003) melaporkan setiap hektar tanaman kelapa sawit dapat menghasilkan 4 ton CPO/tahun, yang diperoleh dari + 16 ton tandan buah segar (TBS) (Jalaludin et al. 1991). Selanjutnya, setiap 1 ton TBS menghasilkan 294 kg lumpur sawit, 35 kg bungkil kelapa sawit, dan 180 kg serat perasan. Jumlah tersebut dapat disetarakan dengan 1.132 kg lumpur sawit, 514 kg bungkil kelapa sawit, 2.681 kg serat perasan, dan 3.389 kg tandan kosong untuk setiap hektar per tahun.

Selain mengasilkan minyak, sawit juga menghasilkan produk sampingan yang masih dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Produk samping yang dihasilkan, baik yang berasal dari tanaman (Ishida dan Hassan 1997) maupun pengolahan buah kelapa sawit (Wan Zahari et al. 2003) berpotensi untuk dioptimalkan sebagai bahan pakan ruminansia, khususnya sapi potong. Produk samping asal kebun meliputi pelepah, daun, dan batang (Kawamoto et al. 2001). Produk sampingan ini masih memiliki nilai nutrisi yang cukup guna memenuhi kebutuhan ternak ruminansia. Produk samping tanaman dan hasil ikutan pengolahan buah kelapa sawit belum dimanfaatkan secara optimal, khususnya sebagai bahan dasar ransum ternak ruminansia (Noel 2003). Adapun kandungan gizi dari hasil ikutan sawit dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Komposisi nutrisi produk samping tanaman dan hasil ikutan pengolahan buah kelapa sawit.

Bahan/produk sampingan

BK

Abu

PK

SK

L

BETN

Ca

P

GE

(%)

……………..……..% BK ………………………..

(kal/g)

Daun tanpa lidi

46,18

13,40

14,12

21,52

4,37

46,59

0,84

0,17

4.461

Pelepah

26,07

5,10

3,07

50,94

1,07

39,82

0,96

0,08

4.841

Lumpur sawit

24,08

14,40

14,58

35,88

14,78

16,36

1,08

0,25

4.082

Bungkil

91,83

4,14

16,33

36,68

6,49

28,19

0,56

0,84

5.178

Serat perasan

93,11

5,90

6,20

48,10

3,22

-

-

-

4.684

Tandan kosong

92,10

7,89

3,70

47,93

4,70

-

0,24

0,04

3.367

Sumber: Mathius et al. (2004).

Pada tabel 1 terlihat bahwa sebagian besar produk samping tersebut mengandung serat kasar cukup tinggi. Oleh karena itu, bila diberikan secara tunggal kepada ternak ruminansia dapat menyebabkan ternak kekurangan pasokan nutrient. Ditinjau dari kandungan nutrien, pelepah kelapa sawit dapat digunakan sebagai sumber atau pengganti pakan hijauan yang umum diberikan sebagai bahan dasar pakan (Hassan dan Ishida 1992), sementara Mathius et al. (2004a) membatasi jumlah pemberian pelepah maksimal 33% dari total kebutuhan bahan kering untuk sapi Bali.

Wan Zahari et al.(2003) menyatakan untuk meningkatkan nilai nutrient dan biologis pelepah melalui pembuatan silase dengan menambahkan urea atau molases belum memberikan hasil yang signifikan, tetapi nilai nutrien cenderung meningkat. Namun pemberiannya disarankan tidak melebihi 30%. Untuk meningkatkan konsumsi dan kecernaan pelepah dapat dilakukan dengan menambahkan produk ikutan pengolahan buah kelapa sawit.

Sistem Integrasi Sapi-Sawit merupakan perpaduan antara manajemen perkebunan kelapa sawit dengan ternak sapi. Perkebunan kelapa sawit dikelola agar hasil samping tanaman terutama pelepah dapat tersedia sepanjang hari untuk pakan sapi yang dimanfaatkan sebagai pengendali rumput/gulma sekitar kebun, pengangkut buah sawit dan penghasil kotoran sebagai sumber pupuk organik dan biogas. Beberapa hasil areal kebun, limbah kebun dan limbah industri pabriknya yang dapat dimanfaatkan oleh ternak ruminansia adalah:

a. Hasil dan limbah kebun kelapa sawit

• Hijauan kebun antar tanaman (covercrop/ground) dan rumput

• Pelepah dan daun kelapa sawit

b. Limbah pabrik minyak kelapa sawit

• Serat buah (serabut/fibre)

• Lumpur sawit

• Bungkil inti sawit (BIS)

• Limbah padat (solid)

Tandan buah kosong kelapa sawit

Sedangkan ternak ruminansia (sapi potong) juga memberi dampak positif terhadap perkebunan kelapa sawit. Dampak tersebut seperti pengurangan penggunaan pestisida dalam pengendalian gulma, pengurangan penggunaan pupuk anorganik sebab dapat tergantikan dengan oleh feses yang dihasilkan oleh ternak. Bahkan dapat diterapkannya teknologi biogas di kawasan perkebunan. Menambah pendapatan masyarakat dengan memelihara ternak sapi untuk dijual dagingnya.

METODE PENELITIAN

Kajian ini merupakan hasil pengamatan penulis selama melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kabupaten Dharmasraya. Waktu pelaksanaan kegiatan selama 14 juli sampai 30 Agustus 2008. Kegiatan pengkajian yang dilakukan menggunakan rancangan penelitian yang sesuai dengan kondisi yang dikerjakan. Penelitian ini dirancang dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Bogand dan Taylor (dalam Maleong, 1993:3) metode kualitatif didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan oleh orang-orang dan prilaku yang dapat diamati. Pengumpulan data dipergunakan teknik observasi, wawancara dan studi kepustakaan. Sehingga Jenis data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan metode SWOT untuk mengetahui dan mengkaji potensi daerah, kelemahan yang ada, peluang yang tercipta dan ancaman bila rumusan diterapkan. Kemudian dianalisis juga relevansinya dengan penelitian-penelitian terbaru dari internet.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kabupaten Dharmasraya memiliki perkebunan sawit dengan luas mencapai 76.163 hektar atau 13 % dari luas wilayah. Lahan sawit di Kabupaten ini banyak terdapat di Kecamatan Koto Baru. Kecamatan ini memiliki potensi lahan sawit perumahan yang dapat dikelola untuk penerapan integrasi sapi-sawit. Adanya lahan sawit diperumahan (lahan perumahan yang luasnya setengah hektar ditanami sawit) menjadikan daerah ini berbeda dengan daerah lain yang memiliki perkebunan sawit. Dalam kaitannya dengan usaha penggemukan sapi, adanya lahan sawit perumahan maka petani akan mendapat banyak kemudahan. Pertama, lahan yang berdampingan dengan rumah akan lebih memudahkan petani dalam memelihara sapi. Kedua, rumah yang dekat dengan kebun maka tingkat keamanan ternak lebih terjamin. Dan ketiga, pengelolaan ternak secara berkelompok akan lebih mudah dalam rangka mengkoordinir anggota kelompok tani yang ada. Pemeliharaan sapi pola integrasi sapi sawit dilakukan dengan system kandang kelompok, sehingga inovasi berbagai teknologi budidaya (pemuliaan, reproduksi nutrisi dan vertiriner) dapat diaplikasikan.

Potensi Produksi

Penerapan Sistem Integrasi Sapi dan Kelapa Sawit (SISKA) di Kabupaten Dharmasraya memiliki potensi produksi yang cukup tinggi. Dengan luas lahan 76.163 hektar diasumsikan penerapan SISKA mampu menghasilkan pakan ternak sapi potong yang bersumber dari:

Produksi Hijauan

Hijauan yang tumbuh di bawah pohon kelapa sawit biasanya didominasi oleh tanaman pakis, rumput teki, kacang kacangan, tanaman semak dan alang-alang (Batubara et al., 1999). Rata-rata produksi hijauan di bawah kelapa sawit 5-10 tahun adalah 10,479 ton ha/tahun dan pohon kelapa sawit umur 10–20 tahun adalah 14,827 ton ha/tahun. Jika 1 ha lahan perkebunan kelapa sawit dengan sumber pakan hijauan mampu menampung 1 unit ternak maka sekitar 76.163 ekor sapi bisa ditampung.

Produksi Daun Kelapa Sawit

Daun sawit diperoleh dari pemangkasan tanaman kelapa sawit. Pada 1 hektar lahan perkebunan kelapa sawit dengan jarak tanam 9 x 9 m diperkirakan terdapat 138 batang kelapa sawit. Jika setiap pelepah menghasilkan ± 0,5 kg pakan dan setiap pohon menghasilkan 22 pelepah daun per tahun, berarti 1 hektar lahan perkebunan sawit dapat menghasilkan 1.518 kg daun/ha/tahun, yang berarti di terdapat 115.615.434 kg daun/tahun. Jika kebutuhan satu sapi 25 kg, berarti produksi kebun kelapa sawit sebagai sumber pakan sapi dewasa sebanyak 4.624.617,36 juta sapi.

Pelepah Sawit

Pelepah sawit memiliki kandungan protein kasar 15% dan berfungsi sebagai pengganti sumber serat pakan sapi. Sebagai sumber pakan, pelepah sawit masih sedikit dimanfaatkan meskipun 1 pohon kelapa sawit dapat menghasilkan 22 buah pelepah sawit dan 1 buah pelepah setelah dikupas untuk pakan ternak beratnya mencapai 7 kg. Pada luas perkebunan kelapa sawit 76.163 ha berarti terdapat (7 kg x 138 x 22 x 76.163) = 1.618.616.076 kg pelepah/tahun. Jika satu ternak membutuhkan pakan 25 kg ekor/hari berarti pelepah kebun sawit dapat menyediakan pakan ternak untuk 64.744.643,04 sapi/tahun.

Limbah Kelapa Sawit

Produk kelapa sawit lain yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak yaitu bungkil inti sawit (BIS), lumpur sawit dan serat perasan buah sawit. Menurut Jalaludin et al. (1991), setiap 1.000 kg tandan buah segar dapat diperoleh minyak sawit 250 kg serta hasil samping 294 kg lumpur sawit, 35 kg bungkil inti sawit dan 180 kg serat perasan. Serat perasan kelapa sawit memiliki kandungan serat kasar 48% dan protein kasar 6%. Tetapi kemampuan ternak mengkonsumsi serat perasan sangat rendah karena rendahnya kecernaan serat perasan tersebut, yakni hanya mencapai 24–30% (Abu Hasan et al., 1991). Lumpur sawit memiliki kandungan protein 12– 14% dan kendala penggunaan lumpur sawit sebagai pakan adalah tingginya kandungan air, rendahnya kandungan energi dan abu yang tinggi sehingga tidak dapat digunakan sebagai pakan tunggal dan harus disertai produk samping lain.

Kelemahan

Pada saat ini petani umumnya hanya berperan sebagai keeper atau user, bukan sebagai producer apalagi breeder dan kurangnya minat investor untuk mengembangkan usaha penggemukan sapi potong di daerah ini. Petani memelihara sapi hanya sebagai keeper dengan manfaat untuk berbagai tujuan, antara lain : (a). akumulasi asset, (b). mengisi waktu luang, (c). sumber tenaga kerja, (d). penghasil pupuk dan (e). sebagai simbol status social atau sekedar hobi.

Dengan kondisi tersebut, pengembangan sapi secara bisnis di daerah ini tidak atau belum terlaksana. Disamping itu, petani belum mampu menjalankan kualitas pakan dari limbah sawit melalui perlakuan fisik, kimiawi maupun biologis. Padahal teknologi yang tersedia saat ini memungkinkan untuk dilakukan penyediaan pakan dalam jumlah yang memadai untuk disimpan sepanjang tahun.

Berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi dalam sistem pengembangan ternak integrasi dengan perkebunan sawit antara lain adalah belum tersedianya bibit ternak yang memadai, sulitnya merubah cara tradisional pemeliharaan ternak yaitu dari yang tidak dikandangkan ke cara dikandangkan, dan kebijakan pengembangan ternak yang kurang konsisten.

Tingkat pendidikan masyarakat petani sawit masih rendah. Hal ini disebabkan anggapan bahwa mereka bisa berhasil dan kaya tanpa harus bersekolah. Mereka merasa cukup pandai membaca dan berhitung agar tidak mudah ditipu orang lain. Tingkat pendidikan petani sawit umumnya tamatan Sekolah Dasar sehingga upaya penyerapan inovasi berjalan lambat. Salah satunya adalah penerapan Integrasi sapi-sawit ini. Selain itu, kebiasaan petani sawit yang selalu menggunakan pestisida untuk mengendalikan gulma sawit sulit dirubah.

Dampak Penerapan SISKA

Penerapan SISKA memiliki dampak yang besar sekali terhadap peningkatan perekonomian masyarakat. Selain itu, dampak penerapan teknologi dan peningkatan social budaya masyarakat juga meningkat. Seperti gambar 1.




Gambar 1. Alternatif model Penerapan Sistem Integrasi Sapi – Kelapa Sawit

Dari gambar tersebut, semuanya bermuara pada peningkatan pendapatan petani kelapa sawit yang menerapkan SISKA. Manajemen pengelolaan perkebunan sawit dan sapi potong dapat diterapkan oleh masyarakat dengan melalui pelatihan dan penyuluhan terlebih dahulu oleh pemerintah agar masyarakat lebih memahami SISKA tersebut.

Penerapan SISKA mampu memanfaatkan limbah yang dihasilkan dari perkebunan sawit seperti : daun sawit, pelepah dan rumput sebagai pakan ternak. Sehingga tidak ada pembakaran daun dan pelepah sawit atau penggunaan pestisida untuk mengendalikan pertumbuhan rumput dan gulma lainnya. Feses yang dihasilkan oleh sapi dapat dimanfaatkan sebagai pupuk dan biogas. Penggunaan feses sebagai pupuk bisa menekan biaya produksi sawit untuk membeli pupuk buatan. Penerapan teknologi biogas memgurangi biaya bahan bakar untuk memasak. Dengan demikian terjadi penghematan secara signifikan dan meningkatkan pendapatan masyarakat.

Bagi pemerintah, program SISKA merupakan salah satu usaha program Percepatan Swasembada Daging Sapi (P2SDS) selain sebagai peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Usaha untuk mensejahterakan masyarakat merupakan fokus utama pemerintah guna tercapainya kedaulatan pangan hewani berbasis potensi lokal.

Kesimpulan dan Saran

Dari segi sumber daya alam, Kabupaten Dharmasraya memiliki potensi untuk penerapan Sistem Integrasi Sapi – Kelapa Sawit (SISKA). Hasil ikutan dan limbah dari perkebunan kelapa sawit dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak sapi potong. Namun dari segi Sumber daya manusia, tingkat pendidikan petani sawit masih rendah membuat penyerapan inovasi teknologi SISKA akan terkendala. Maka disarankan kepada pemerintah untuk menggiatkan penyuluhan dan pembinaan masyarakat dalam bidang pendidikan kepada petani sawit di Kabupaten Dharmasraya.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Batubara, A., I. Kasup, A.A. Kesma. A. Irfan, H. Simanjuntak dan Harahap. 1999. Kajian integrasi penggemukan ternak sapi potong di lahan perkebunan kelapa sawit. Laporan Hasil Kegiatan BPTP Riau. 2000.

Hassan, O.A. and M. Ishida. 1992. Status of utilization of selected fibrous crop residues and animal performance with special emphasis on processing of oil palm frond (OPF) for ruminant feed in Malaysia. Trop. Agric. Res. Series 24: 135-143.

Ishida, M. and O.A. Hassan. 1997. Utilization of oil palm frond as cattle feed. JARQ 31: 41-47.

Jalaludin, S., Z.A Jelan, N. Abdullah and Y.W. HO. 1991. Recent Development in the Oil Palm By Product Based Ruminant Feeding System. MSAP, Penang, Malysia. pp. 35-44.

Jalaludin, S., Y.W. Ho, N. Abdullah, and H.Kudo. 1991. Strategies for animal improvement in Southeast Asia. InUtilization of Feed Resources in Relation to Utilization and Physiology of Ruminants in the Tropics. Trop. Agric. Res. Series 25: 67-76.

Kawamoto, H., M. Wan Zahari, N.I. Mohd Shukur, M.S. Mohd Ali, Y. Ismail, and S. Oshio. 2001. Palatability, digestibility and voluntary intake of processed oil palm fronds in cattle. JARQ 35(3): 195-200.

Liwang, T. 2003. Palm oil mill effluent management. Burotrop Bull. 19: 38.

Mathius, I-W., D. Sitompul, B.P. Manurung, dan Azmi. 2004a. Produk samping tanaman dan pengolahan kelapa sawit sebagai bahan pakan ternak sapi potong: Suatu tinjauan. hlm. 120-128. Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pemerintah Provinsi Bengkulu dan PT Agricinal.

Wan Zahari, M., O.B. Hassan, H.K. Wong, and J.B. Liang. 2003. Utilization of oil palm frond-based diets for beef cattle production in Malaysia. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 16(4): 625-634.